Sidang Lanjutan Ahok: Soal Buni Yani, Tabayyun dan Muhammadiyah

POOL/Kompas/Hendra A Setyawan
Basuki Tjahaja Purnama saat persidangan di Auditorium Kementerian Pertanian, Cilandak, Jakarta, Selasa (10/1/2017).
10/1/2017, 16.42 WIB

Sidang keempat kasus dugaan penodaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (10/1) ini. Dalam persidangan yang berlangsung di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, pengacara Ahok mempersoalkan video editan Buni Yani, prinsip tabayyun, dan hubungannya dengan Muhammadiyah. 

Agenda sidang kali ini mendengarkan lima saksi dari pihak jaksa penuntut umum, yang merupakan para pelapor kasus tersebut. Saksi pertama adalah Pedri Kasman, Sekretaris Pusat Pemuda Muhammadiyah. Humphrey Djemat, pengacara Ahok, menuding saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) tersebut telah memberikan keterangan yang berbeda antara Berita Acara Perkara (BAP) dengan pelaporan awal.

Saat pelaporan awal pada tanggal 7 Oktober 2006, menurut Humphrey,  Pedri mengutip pernyataan Ahok yang dijadikannya dasar pelaporan ke kepolisian: jangan mau dibodohi oleh ayat suci Al-Quran surat Al-Maidah ayat 51 sebagai kitab suci umat Islam.

(Baca: Sidang Kasus Ahok, Lima Saksi Pelapor Akan Beri Keterangan)

Namun, dalam BAP tanggal 17 November 2016, keterangan tersebut diubah menjadi "dibohongi pakai Al-Maidah 51". "Kalau dia bohong, itu jelas ada sanksinya," kata Humphrey di sela-sela sidang kasus tersebut. 

Kuasa hukum Ahok juga mencecar Pedri terkait penggunaan video di Youtube untuk dasar pelaporannya, yang bukan berasal dari tautan resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Humphrey pun menduga Pedri menggunakan video editan yang dibuat Buni Yani sebagai dasar pelaporannya.

Menurut Humphrey, hal tersebut membuat bias makna tujuan omongan Ahok. "Kami sedang menduga dia menggunakan video editan dari Buni Yani," katanya.

Dugaan tersebut berkorelasi dengan posisi Pedri sebagai Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah yang mengenal Buni Yani. Sebab, Buni diketahui pernah mengunjungi kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Menteng, Jakarta Pusat.

Hal ini berpotensi masalah lantaran Buni sedang berstatus tersangka dan terbelit kasus video editan tersebut. "Makanya semua saksi kami tanyakan hubungannya dengan Buni Yani," ujar Humphrey. (Baca: Isi 8 Halaman Nota Keberatan Ahok atas Kasus Penodaan Agama)

Namun, Pedri meminta semua pihak berfokus kepada 13 detik pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September lalu yang dianggap telah menodai Agama Islam. Jadi, dia meminta proses persidangan tidak dipelintir dengan masalah penghilangan kata 'pakai'.

Menurut Pedri, pernyataan Ahok tersebut sudah mengarah pada penodaan suatu agama dan layak diproses secara hukum. "Apalagi video dimaksud sudah diuji Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri," katanya.

Terkait hubungan dengan Buni, Pedri mengaku pernah bertemu dengannya pada 28 Desember 2016. Namun, dia meminta pertemuan itu jangan diartikan macam-macam karena hanya sebatas menerima tamu. "Siapa saja kami (Muhammadiyah) terima," katanya.

Selain itu, Humphrey mempersoalkan alasan Pedri yang tidak melakukan klarifikasi terlebih dahulu kepada Ahok mengenai kasus pernyataan tersebut. Alasannya, dia memiliki keterbatasan akses untuk bertemu dan mengklarifikasi masalah itu kepada Ahok.

(Baca: Sidang Ahok, Hakim: Proses Hukum Bisa Jalan Tanpa Peringatan)

Namun, Humphrey mengklaim Ahok selama ini cukup dekat dengan Muhammadiyah. Ia juga pernah datang secara khusus karena diundang oleh organisasi keagamaan tersebut. Bahkan, secara khusus Muhammadiyah pernah mendukung Ahok sebagai model pemimpin antikorupsi. "Akses dia (Pedri) sebenarnya kuat sebagai Sekretaris Pemuda Muhammadiyah," katanya.

Adapun Pedri berkelit dengan mengatakan keputusan Pemuda Muhammadiyah melaporkan Ahok bersifat otonom. Bahkan, dia mengklaim Ketua Umum PP Muhammadiyah Haidar Nasir mendukung langkahnya tersebut. "Tabayyun konteksnya beda, ini masalah hukum," katanya.