Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan tetap berusaha menagih piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) darim perusahaan pertambangan mineral dan batubara (minerba). Apalagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti potensi kerugian negara dari piutang tak tertagih itu mencapai Rp 26,23 triliun.
Inspektur Jenderal Kementerian ESDM Mochtar Husein mengatakan, sebesar Rp 21,85 triliun dari jumlah tersebut merupakan tagihan negara dalam Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) atau royalti kepada lima perusahaan pertambangan batubara. Lima perusahaan itu merupakan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi I periode tahun 2008 sampai 2012.
Menurut Mochtar, lima perusahaan itu masih menahan setoran royaltinya kepada negara. “Disengaja ditahan oleh perusahaan bersangkutan,” kata dia di Jakarta, Senin (31/10). (Baca: KPK Ungkap Potensi Kerugian Negara Rp 46 Triliun di Sektor Energi)
Perusahaan tambang generasi pertama itu menahan setoran royaltinya karena menilai ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tidak masuk dalam perjanjian kontrak tapi telah dibayarkan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Sementara berdasarkan kontrak, pajak yang timbul di luar kontrak menjadi beban pemerintah dan akan ada reimburse atau penggantian dengan mekanisme pengurangan (set off) dari kewajiban DHPB perusahaan tambang.
Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan juga belum menghitung dan mengaudit jumlah PPN dan pajak kendaraan bermotor yang harus dikembalikan kepada lima perusahaan tersebut. “ Mereka mengklaim karena di PKP2B ada aturan bahwa pajak-pajak yang dikenakan di kemudian hari ditanggung pemerintah, beban pemerintah harus di-reimburse ke mereka," kata dia.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, perusahaan yang masuk dalam PKP2B generasi pertama adalah perusahaan swasta nasional. "Generasi I itu misalnya Adaro dan sebagainya," kata dia. (Baca: Jonan Minta Amendemen Kontrak Tambang Selesai Akhir Tahun)
Namun, menurut Head of Corporate Communication Division Adaro Energy Febriati Nadira Adaro, pihaknya tidak menunggak pembayaran royalti. Perusahaan tambang ini menerapkan tata kelola perusahaan yang baik serta patuh terhadap perundangan yang berlaku.
Bahkan, Adaro telah menyetor Dana Hasil Produksi Batubara, baik royalti dan penjualan hasil tambang, sesuai dengan ketentuan dalam PKP2B. "Sebaliknya Adaro pada 5 April 2016 memperoleh penghargaan dari Direktorat Jenderal Pajak sebagai wajib pajak yang berkontribusi signifikan, patuh , dan kooperatif," kata dia kepada Katadata, Senin (31/10).
Selain itu, masih ada piutang perusahaan pertambangan pemegang PKP2B, kontrak karya (KK) dan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) senilai Rp 4,37 triliun. Piutang itu merupakan kurang bayar DHPB atau royalti yang dihitung berdasarkan audit BPKP dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta kewajiban Iuran Tetap yang dihitung dari hasil verifikasi Ditjen Minerba. Piutang tersebut telah ditagih namun hingga kini belum dilunasi oleh perusahaan pertambangan.
(Baca: Dirjen Pajak: Nilai Tax Amnesty Tambang-Migas Fantastis Kecil)
Untuk mempercepat proses penyelesaiaan piutang PKP2B tersebut, perlu dilakukan koordinasi yang lebih intensif antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Keuangan dan BPKP. Piutang perusahaan pertambangan selain yang di-set off, diperkenankan melakukan restrukturisasi piutang dan pembayaran angsuran yang lebih fleksibel.
Kementerian ESDM juga terus melakukan penagihan dan teguran II dan III kepada perusahaan (PKP2B, KK dan IUP) yang belum melunasi piutang tersebut.