Para pegiat antikorupsi mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengambil sikap atas kasus pelanggaran etik Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Harry Azhar Azis. Alasannya, mengacu pada undang-undang, Harry seharusnya bisa diberhentikan secara tidak hormat atas usulan BPK atau DPR.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto mengatakan, pihaknya bersama para pegiat antikorupsi yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan BPK berencana menemui anggota DPR pada pekan depan. “(Kami) mau sampaikan petikan putusan dan dorong mereka melakukan aksi progresif,” katanya kepada Katadata, Jumat (28/10).
Seperti diberitakan sebelumnya, Majelis Kehormatan Kode Etik BPK telah menjatuhkan sanksi etik berupa peringatan tertulis kepada Ketua BPK, Harry Azhar Azis. Ia dinilai telah melanggar etika karena pernah memiliki perusahaan cangkang, Sheng Yue International Limited, di British Virgin Island. (Baca juga: Mahkamah BPK Didesak Jelaskan Pelanggaran Etik Harry Azhar)
Meski mengapresiasi keputusan majelis tersebut, koalisi menilai sanksi yang diberikan terlalu ringan. Koalisi pun berulang kali menyerukan agar Harry mengundurkan diri dari jabatannya. Menurut mereka, Harry tak layak memimpin lembaga auditorat negara itu lagi, lantaran telah cacat secara etik. Namun, desakan itu belum juga ditanggapi Harry.
Lantaran belum ditanggapi itulah, koalisi berencana menemui DPR. Peneliti dari Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam menjelaskan, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK menyatakan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BPK diberhentikan tidak dengan hormat dari keanggotaannya atas usul BPK atau DPR. “Undang-Undang memberi ruang bagi DPR untuk mengusulkan pemberhentian,” katanya.
Atas dasar itu, Roy menekankan, Harry bisa diberhentikan. Sebab, undang-undang BPK tidak memandang derajat sanksi yang ditetapkan Majelis Kehormatan. Artinya, jika pimpinan atau anggota BPK melanggar etik, DPR atau BPK seharusnya mengusulkan agar yang bersangkutan diberhentikan secara tidak hormat.
(Baca juga: (Baca juga: Panama Papers dan Perburuan Dana Gelap ke Penjuru Dunia).
Roy juga mengkritisi putusan majelis kehormatan. Sanksi berupa peringatan tertulis mencerminkan bahwa majelis menilai pelanggaran etika yang dilakukan Harry hanya berdampak negatif terhadap organisasi, bukan terhadap pemerintah atau negara. Sebab, sesuai Pasal 11 Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2011, jika pelanggaran etika dianggap berdampak negatif terhadap pemerintah atau negara maka sanksinya adalah pemberhentian dari keanggotaan BPK.
“Putusan majelis (berupa peringatan tertulis) derajatnya bukan untuk seorang anggota atau ketua BPK. Sebab, jabatan anggota atau Ketua BPK, tindakannya berpengaruh besar baik terhadap institusi ataupun negara,” katanya.
Sebelumnya, Katadata sempat meminta tanggapan Komisi Keuangan sebagai mitra BPK di DPR terkait sanksi yang telah dijatuhkan Majelis Kehormatan kepada Harry. Sayangnya, pimpinan komisi tak juga menjawab pertanyaan Katadata.
Adapun Anggota Komisi Keuangan DPR, Indah Kurnia, enggan berkomentar banyak. Menurutnya, pelanggaran etik yang dijatuhkan kepada Harry tidak terkait dengan jabatannya sebagai Ketua BPK. “Itu kan (kepemilikan perusahaan cangkang) saat dia sebagai Harry Azhar Azis (anggota DPR), tidak ada kaitannya dengan (posisi) yang sekarang,” katanya.
Ia pun menilai Harry tidak perlu sampai diberhentikan dari jabatannya. Toh, Harry tidak sendirian memimpin BPK, melainkan bersama-sama dengan jajaran anggota BPK lainnya. “Kolektif kolegial,” ujarnya. (Baca: Langgar Etik dan Didesak Mundur, Ketua BPK Anggap Masalah Selesai)
Indah juga enggan mengomentari lebih lanjut soal desakan dari para pegiat antikorupsi. “Saya tidak dalam kapasitas mencermati perilaku Harry Azhar Azis,” katanya.