Pemerintah kembali merevisi daftar dan jumlah sektor industri yang diprioritaskan mendapat penurunan harga gas. Kini, prioritasnya untuk tiga industri, yakni industri pupuk, petrokimia, dan baja. Padahal, semula dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2016, tercantum tujuh industri yang akan mendapatkan penurunan harga gas.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan dua kriteria industri yang bisa memperoleh penurunan harga gas dari pemerintah. Pertama, penurunan harga gas itu harus menciptakan efek berantai yang lebih besar di sektor hilir dalam hal penciptaan lapangan kerja, peningkatan investasi dan pendapatan negara.
(Baca: Pemerintah Terbelah Menyikapi Rencana Impor Gas)
Kedua, penurunan harga gas di industri tersebut dapat memicu penurunan harga produk yang dikonsumsi oleh konsumen akhir, atau mengurangi subsidi negara. “Contohnya untuk industri pupuk,” kata Luhut seperti dikutip dari bahan presentasinya dalam acara "Coffee Morning" di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Selasa (18/10) pagi.
Berdasarkan dua kriteria itulah, prioritas penurunan harga gas untuk tiga industri: pupuk, petrokimia, dan baja. Hal ini berbeda dengan tujuhindustri yang diprioritaskan dalam Perpres Nomor 40 itu, yakni industri pupuk,, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Luhut merinci, struktur harga gas untuk tiga industri tersebut sangat besar. Struktur biaya gasnya mencapai 70 persen. Sedangkan per Juli lalu, harga gas untuk industri pupuk mencapai US$ 3,12 hingga US$ 7,5 per mmbtu, industri petrokimia US$ 3 sampai US$ 6,52 per mmbtu dan industri baja dan logam lainnya mencapai US$ 6,75 hingga US$ 13 per mmbtu.
Berdasarkan harga tersebut, harga gas di Indonesia memang lebih mahal dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand. Di Indonesia, harga gas di hulu mencapai US$ 5,9 per mmbtu, sedangkan di Malaysia hanya US$ 4,5 per mmbtu dengan subsidi dan Thailand US$ 5,5 per mmbtu.
(Baca: Harga Gas di Malaysia Lebih Murah karena Subsidi Pemerintah)
Di sisi lain, formula harga gas pipa di Indonesia berdasarkan harga keekonomian di level hulu plus eskalasi harga yang tetap setiap tahun. Jadi, harga gas industri di Indonesia tidak tergantung dari pergerakan harga minyak dunia. Akibatnya, saat harga minyak turun, harga gas di level industri di Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan di negara lain yang mengacu ke harga minyak, seperti Thailand.
Padahal, struktur harga gas di Indonesia paling besar dipengaruhi oleh sektor hulu. Perinciannya, sekitar 60 persen komponen harga gas di hulu, 22 persen di transmisi dan sisanya pada tataran distribusi dan niaga.
Karena itulah, pemerintah sudah menyiapkan beberapa upaya menurunkan harga gas domestik di level industri. Pertama, efisiensi di sektor hulu, terutama di cost recovery atau pengembalian biaya operasi. Kedua, penurunan bagian pemerintah pada kontrak bagi hasil (PNBP atau Pajak).
(Baca: Berpacu Mengurai Ruwetnya Masalah Harga Gas)
Ketiga, efisiensi pada biaya transmisi seperti toll fee atau biaya pipa, regasifikasi, dan liquefication atau pencairan. Keempat, efisiensi pada biaya distribusi, berupa menghilangkan para pedagang (trader) gas yang tidak memiliki infrastruktur.