Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SP SKK Migas) mengklaim bahwa Badan Pemerikasa Keuangan (BPK) mendukung seluruh hak pekerja seperti saat masih berbentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas). Menurut Ketua Umum Serikat Pekerja Dedi Suryadi, kesepakatan itu diperoleh setlah bertemu BPK terkait temuan lembaga itu yang memberikan opini tidak wajar ke SKK Migas.
Pertemuan kedua pihak dilakukan pada Selasa sore, 11 Oktober 2016, di kantor BPK. Pengurus Serikat Pekerja diwakili oleh Dewan Pembina SKK Migas Elan Biantoro, Sekjen SP SKK Migas Yapit Saptaputra, Ketua Bidang Komunikasi Bambang Dwi Djanuarto, Ketua Bidang Advokasi Indra Wardhana ,dan anggota Serikat Pekerja Syaifudin. Mereka diterima oleh Auditor Utama Keuangan Negara VII Abdul Latief dan tim yang bertugas memeriksa SKK Migas.
Dedi Suryadi mengatakan pertemuan itu berjalan baik. BPK mengemukakan perhatian yang sama dengan Serikat Pekerja, yaitu mengenai status kelembagaan SKK Migas yang sifatnya masih sementara tapi sudah berjalan empat tahun. (Baca: BPK Nilai SKK Migas Bersalah Tunjuk Konsultan Asing Blok Masela).
”BPK serta SP SKK Migas sama-sama sepakat mendesak agar pemerintah dan DPR segera menetapkan status kelembagaan SKK Migas yang permanen,” kata Dedi melalui siaran persnya di Jakarta, Rabu, 12 Oktober 2016.
Status lembaga SKK Migas penting dalam menentukan mekanisme anggaran yang akan digunakan. Saat ini, SKK Migas diminta untuk menggunakan mekanisme anggaran mengacu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tapi, menurut Dedi, mekanisme APBN dalam anggaran operasional SKK Migas menyalahi Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Energi Noomor 09 Tahun 2013.
Bagaimanapun posisi hukum SKK Migas saat ini, Dedi berharap semua pihak memperhatikan kepentingan pekerja. Alasannya, tidak pernah ada pekerja yang rela hak-haknya dihilangkan termasuk pekerja di BPK, Kementrian Keuangan, maupun lembaga lainnya. (Baca: Kementerian Keuangan Akan Periksa Laporan Tidak Wajar SKK Migas).
Di sini, ujar Dedi, BPK mendukung agar hak-hak pekerja tidak boleh ada yang dikurangi menyusul temuan laporan audit tersebut. "Dalam audit, tidak ada perintah menghilangkan hak pekerja SKK Migas,” kata Dedi.
Sebelumnya, BPK memberikan opini tidak wajar (TW) terhadap Laporan Keuangan SKK Migas Tahun 2015. Hal ini berbalik secara diametral dengan opini empat tahun terakhir yang dikantongi SKK Migas, yakni wajar tanpa pengecualian (WTP). (Baca: Simpan Banyak Masalah, BPK Vonis Laporan SKK Migas Tidak Wajar)
Penyebab diberikan opini TW atas LK SKK Migas Tahun 2015, salah satunya adalah pengakuan kewajiban diestimasi atas imbalan pascakerja berupa manfaat penghargaan atas pengabdian (MPAP), masa persiapan pensiun (MPP), imbalan kesehatan purna karya (IKPK), dan penghargaan ulang tahun dinas (PUTD) per 31 Desember 2015 senilai Rp1,02 triliun tidak disetujui oleh Kementerian Keuangan. Ini berkenaan dengan tidak adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pegawai BP Migas pada 13 November 2012.
Selain itu, berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan atas usulan anggaran BP Migas tahun 2012, BP Migas tidak dapat mengklaim biaya manfaat pekerja sebagai piutang BP Migas terhadap pemerintah. Hak tagih atas hal tersebut tidak disetujui, sehingga asersi hak dan kewajiban tidak terpenuhi. Berdasarkan hal-hal tersebut, SKK Migas tidak dapat menyajikan kewajiban diestimasi atas imbalan pascakerja.