BPH Migas Kritik Pemerintah Tak Paham Pengelolaan Energi

Arief Kamaludin|KATADATA
12/10/2016, 18.20 WIB

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman menyatakan pengelolaan energi di Tanah Air tidak jelas. Pemerintah dinilai tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang masalah ini. Alhasil, kebijakan yang diterbitkan seringkali hanya mengatasi problem di permukaan, tidak mencabut akarnya.

Menurut dia, salah satu kebijakan pemerintah yang dianggap tak sesuai yaitu larangan beroperasi bagi trader gas yang tidak memiliki infrastruktur. Kebijakan tersebut bagian dari upaya pemerintah untuk menurunkan harga gas. (Baca: Trader Modal Kertas Bakal Tak Dapat Jatah Gas).

Trader masih dibutuhkan sebagai jembatan antara produsen dan konsumen. Tetap penting. Trader harus ada," kata Sommeng dalam acara iskusi Ikatan Alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia, di Salemba, Jakarta, Rabu, 12 Oktober 2016. "Seharusnya yang dilarang adalah perdagangan antar-trader.

Selama ini, pemerintah menganggap trader sebagai salah satu penyebab tingginya harga gas. Tak ayal, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mempercepat masa transisi kewajiban pembangunan infrastruktur oleh trader gas dari dua tahun menjadi sampai akhir 2016.

Artinya, jika sampai 1 Januari 2017 tak membangun infrastruktur, para trader itu tidak akan mendapatkan alokasi gas. Dengan kata lain, usahanya otomatis mati. (Baca juga: Berpacu Mengurai Ruwetnya Masalah Harga Gas).

Lebih jauh, Someng mempertanyakan arah pengelolaan gas yang disebut-sebut untuk menggerakkan ekonomi, namun pada prakteknya pemerintah justru membiarkan harga gas ditentukan oleh perusahaan. "Kalau mau dijadikan penggerak ekonomi, jangan diperlakukan sebagai bisnis. Jadi menyebabkan unclear policy objective," ujar Sommeng.

Pendapat Someng didukung oleh Guru Besar FT UI Widodo Wahyu Putranto. Menurut dia, pemerintah kerap mengeluarkan kebijakan yang tidak terarah akibat kurangnya pengetahuan. Alhasil, upaya pemerintah menurunkan harga gas menjadi US$ 6 per mmbtu mustahil dilakukan. Pemerintah semestinya menghitung lebih dahulu semua biaya untuk semua sektor yang membutuhkan gas.

Widodo pun menyarankan paling tidak ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah harus membentuk atau menunjuk badan yang berwenang sebagai market authority role. Badan tersebut berfungsi mengatur margin gas dengan mengedepankan transparansi harga setiap rantai nilai. Badan ini bisa BPH Migas, KPPU, atau lembaga pemerintah. (Baca juga: Empat Perusahaan Asing Mulai Cari Minyak dan Gas Bumi di Aceh).

Kedua, pemerintah harus membuat mekanisme penentuan harga. Menurut Widodo, pemerintah berhak mengatur harga gas yang akan dijual. Namun, harus ada mekanisme penyesuaian harga secara cepat. Sebelum sampai ke situ, pemerintah mesti membuat formula penentuan harga gas. Tujuannya, agar harga di hulu tidak terlalu rendah dan di hilir tidak terlalu tinggi sehingga menguntungkan semua pihak.

Sebagai informasi, harga gas bumi di Indonesia tergolong mahal. Rata-rata harganya mencapai US$ 9,5 per juta British Thermal Unit (mmbtu). Bahkan, ada yang mencapai US$ 11-12 per mmbtu. Padahal, di beberapa negara jiran, seperti Malaysia dan Singapura, harganya cuma US$ 4 per mmbtu. Sedangkan di Vietnam hanya US$ 7 per mmbtu.

Jauhnya selisih harga gas di Tanah Air dan di negeri tetangga terbilang aneh. Sebab, Indonesia mempunyai potensi cadangan gas bumi yang sangat banyak. Sebaliknya, Vietnam, Malaysia, dan Singapura tergolong negara pengimpor gas bumi. (Baca juga: Rencana Menteri Luhut Impor Gas Disokong Berbagai Pihak).