Keinginan pemerintah untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) mulai mendapat respons dari pelaku usaha. Kontraktor migas menilai produk lokal masih lebih mahal dibandingkan produk impor.
Mahalnya produk dalam negeri ini dirasakan juga Joint Venture and PGPA Manager Ephindo Energy Private Ltd Moshe Rizal Husin. Bahkan menurut dia barang dasar dengan teknologi rendah buatan di Indonesia masih terhitung mahal. (Baca: Pemerintah Prioritaskan Pengguna Komponen Lokal Menang Tender Migas)
Dia mencontohkan salah satu produk lokal yang dianggap lebih mahal adalah casing atau pelindung yang digunakan untuk kegiatan pengeboran. “Kami di Coal Bed Methane (CBM) melakukan analisa, casing dibeli di Indonesia bisa 30 persen lebih mahal bila saya pesan langsung dari Cina,” kata Moshe kepada Katadata, Selasa (30/8).
Menurutnya mahalnya harga produk dalam negeri ini disebabkan adanya praktik monopoli, lantaran minimnya persaingan usaha yang sehat di industri penunjang migas. Sementara kontraktor dipaksa harus menggunakan produk dalam negeri yang mahal dan membuat biaya operasional migas membengkak.
“Saran saya tidak hanya menekan KKKS untuk menaikkan TKDN mereka. Kondisinya sekarang kami justru dituntut efisiensi,” ujar dia. Harus ada kerja sama antara pemerintah, kontraktor kontrak kerjasama (KKKS), dan sub-kontraktor untuk bersama-sama dalam upaya memperbesar tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di industri hulu migas.
(Baca: Tingkatkan TKDN, Luhut Minta Pertamina Pakai Pipa Dalam Negeri)
Pemerintah juga harus berperan dalam mendorong usaha dalam negeri. Caranya dengan meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan membuat investor tertarik membangun industri penunjang migas. Peningkatan daya saing ini bisa dilakukan dengan memberikan insentif dan kemudahan bagi industri ini.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan efisiensi dengan inovasi teknologi. Mengingat skema kerjasama industri hulu migas di Indonesia menerapkan adanya cost recovery. Di mana biaya akan menjadi beban negara.
“Revolusi shale oil (minyak serpih) di Amerika menunjukkan bahwa kami adalah industri dengan inovasi teknologi yang berkembang pesat, salah satunya untuk efisiensi,” kata Moshe.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Panjaitan meminta PT Pertamina (Persero) untuk meningkatkan penggunaan produk lokal dalam kegiatan usaha migasnya. Salah satunya adalah penggunaan pipa migas yang diproduksi di dalam negeri.
Tidak hanya Pertamina, Luhut juga mendorong seluruh Kontraktor Kontrak Kerja sama bisa meningkatkan TKDN, termasuk untuk proyek Blok Masela di Laut Arafura. Selain menekan impor, penggunaan produk dalam negeri akan mendatangkan banyak manfaat bagi negara. Salah satunya membuka lapangan kerja, menciptakan nilai tambah bagi perekonomian dan peningkatan pajak.
(Baca: Luhut Dorong Proyek Masela Gunakan Produk Pipa Dalam Negeri)