Rencana pemerintah untuk membentuk perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor energi, mendapat respons negatif dari sejumlah kalangan. Skema pembentukan holding yang yang dibuat oleh Kementerian BUMN dinilai terlalu terburu-buru, sehingga hasilnya kurang tepat.
Mantan anggota tim reformasi tata kelola minyak dan gas bumi (migas) Fahmy Radhi mengatakan skema pembentukan holding energi ini tidak memiliki konsep dan tujuan yang jelas. Konsepnya hanya sekadar ingin menunjuk PT Pertamina (Persero) sebagai induk usaha BUMN energi. (Baca: Tanpa Izin Dewan, DPR Anggap Pembentukan Holding Cacat Hukum)
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) holding energi disebutkan bahwa pemerintah akan melakukan penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) ke dalam modal saham Pertamina. PMN tersebut diambil dari pengalihan saham seri B milik negara yang berada di PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.
Dengan konsep tersebut, Fahmy menganggap konsep pembentukan holding ini seperti hanya sekedar menunjuk Pertamina untuk 'mencaplok' PGN dengan menjadikannya anak usaha. Tujuannya pun tidak jelas, karena hanya untuk memperkuat struktur modal dalam waktu singkat, sehingga memudahkan Pertamina mendapatkan tambahan utang pada 2018.
"Konsep pembentukannya tidak jelas. Tujuan penunjukan Pertamina sebagai holding juga sangat naif," ujar Fahmy saat acara diskusi bertema “Holding Energi untuk Apa?” di Kantor KAHMI, Jakarta, Jumat (3/6). (Baca: Menteri Rini Putuskan PGN Akan Jadi Anak Usaha Pertamina)
Pada prinsipnya, Fahmy sangat mendukung pembentukan holding BUMN. Namun, rencana dan mekanisme yang ditetapkan Menteri BUMN dinilai tidak tepat. Terlebih lagi dalam draf RPP yang telah tersebar, tidak ditemukan satu pun kata pembentukan holding.
Dia mengusulkan agar pembentukan holding energi diawali dengan mensinergikan seluruh BUMN energi. BUMN energi tersebut terdiri dari sektor migas, mineral dan batu bara (minerba), listrik, serta Energi Baru dan Terbarukan, di bawah perusahaan holding baru yang perlu dibentuk.
Skema sinergi tersebut bisa melalui merger antar BUMN yang memiliki lini bisnis yang sama. Fahmy mencontohkan, merger antara PGN dengan anak usaha Pertamina yaitu Pertagas perlu dilakukan. Hasil merger ini harus membentuk suatu perusahaan baru yang sejajar dengan Pertamina.
Dia tidak setuju jika Pertamina ditunjuk sebagai holding. Apalagi dengan menunjuk Pertamina menggantikan fungsi dan kewenangan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
“Di dalam tubuh Pertamina masih ada mafia-mafia migas yang berkeliaran. Dengan penambahan wewenang Pertamina, akan memunculkan lahan-lahan baru bagi mafia untuk masuk kedalamnya," ujar Fahmy. (Baca: Bahas RUU Migas, DPR Usulkan Pembubaran SKK Migas)
Atas dasar ini, Fahmy mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pembentukan holding BUMN energi saat ini. Dia juga meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana dan mekanisme pembentukan holding ini dan mendirikan BUMN baru yang sahamnya 100 persen dikuasai negara untuk menjadi perusahaan induk usaha.
Pandangan mengenai rencana pembentukan holding yang dinilai terburu-buru juga diungkapkan Ketua Departemen Ristek Energi dan Sumber Daya Mineral Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Lukman Malanuang. Dia berpendapat, rencana holding yang ada saat ini merupakan aksi korporasi sesaat.
Seharusnya, pembentukan holding ini tidak hanya untuk konsolidasi aset, revenue, dan profit. Namun, harus diproyeksikan untuk menjawab target tercapainya bauran energi minimal pada 2025 yakni EBT sebesar 23 persen, minyak bumi 25 persen, batu bara minimal 30 persen dan gas bumi 22 persen.
"Sikap terburu-buru dalam pembentukan holding energi atau migas ini menunjukan pemerintah tidak punya roadmap dalam mengembangkan sektor energi," ujar Lukman. (Baca: Bentuk Tim, Pertamina dan PGN Sinergikan Investasi)