Wiratmaja mengaku pemerintah perlu membahas hasil riset Wood Mackenzie tersebut. Ada beberapa opsi yang saat ini masih dipertimbangkan, yakni besaran penggunaan sistem Dynamic Split atau Sliding Scale Revenue Over Cost (R/C) untuk bagi hasil.  

Melalui skema itu, bagi hasil pemerintah ataupun kontraktor akan berfluktuatif. Jika harga minyak dunia masih rendah, bagi hasil yang didapatkan pemerintah lebih sedikit. "Sedang dalam pembahasan, semua opsi sedang dipertimbangkan," kata dia. 

Proyek laut dalam yang kini masih terkatung-katung adalah Indonesian Deepwater Development (IDD) yang dikelola Chevron Indonesia. Proposal rencana pengembangan wilayah atau Plan of Development (PoD) yang diajukan sejak akhir tahun lalu belum mendapatkan persetujuan dari pemerintah. Bahkan, Chevron harus memperbaiki proposal tersebut sebanyak dua kali.  

Proposal pertama dikembalikan karena data yang diajukan tidak lengkap. Setelah melengkapi data, proposal tersebut ditolak karena Chevron meminta insentif yang tidak bisa diterima pemerintah. Chevron meminta investment credit Proyek IDD sebesar 240 persen. (Baca: Pemerintah Tolak Permintaan Insentif Chevron di Proyek IDD)

Selain belum mendapat persetujuan dari pemerintah, menurut Kepala Humas SKK Migas Taslim Z.Yunus, megaproyek itu juga belum ekonomis untuk dikembangkan di tengah harga minyak yang masih rendah. "Ekonomisnya sekitar US$ 70 per barel," kata dia beberapa waktu lalu.

Halaman: