KATADATA - Hingga saat ini, PT Pertamina belum membayar uang sewa tangki Bahan Bakar Minyak milik PT Orbit Terminal Merak. Perusahaan pelat merah itu menilai biaya rental terminal penyimpanan BBM tersebut terlalu mahal.
Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang mengatakan Pertamina masih menunggu hasil penelusuran Komisi Pemberantasan Korupsi. “KPK sudah masuk dalam tahap penyelidikan,” kata Ahmad saat ditemui di gedung KPK, Jakarta, Kamis, 24 Maret 2016.
Namun, dia belum mau menjelaskan lebih lanjut perkembangan dan temuan yang dilakukan komisi anti rasuh tersebut. Menurutnya, KPK terus menelusuri kemungkinan munculnya tindak pidana korupsi dalam transaksi sewa-menyewa ini. (Baca: Pertamina Anggap Efek Surat Setya Novanto Rawan Dijerat KPK).
Hal senada disampaikan Agus Rahardjo. Ketua KPK ini menyatakan kasus antara Pertamina dan PT Orbit Terminal Merak sedang diselidiki. “Sedang kami tindak lanjuti,” ujar Agus saat ditemui di tempat yang sama.
Menurut Ahmad, harga baru sewa tangki masih dirundingkan. Pertamina belum mau membayar lantaran khawatir ikut terjerat kasus yang diteken oleh direksi lama. Dengan harga sewa yang disodorkan Orbit, kata Ahmad, lebih baik Pertamina membeli tangki tersebut.
Akhir tahun lalu, dia menyatakan selain menunggu proses renegosiasi dengan Orbit, Pertamina juga menanti telaah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. “Daripada bayar terus ditangkap KPK, dianggap korupsi, ngapain?” kata Ahmad ketika itu. (Lihat pula: Surat-surat Rahasia Bertebaran dalam Kisruh Freeport).
Menurutnya, Pertamina tidak membayar sewa lantaran belum ada kesepakatan renegosiasi kontrak, terutama terkait tarif sewa, losess atau nilai selisih akhir BBM, serta produk yang akan ditampung terminal BBM. Pertimbangannya, Orbit memberi harga yang tidak wajar dalam perjanjian sewa terminal pada Oktober 2014. Pertamina berharap tarif bisa turun dengan bantuan negosiasi BKPP dan Satuan Pengawas Internal sebagai fungsi legal. “Dengan negosiasi dia, (tarif) udah turun,” ujarnya. Sayang, Bambang tidak mau menyebutkan berapa angkanya.
Sumber Katadata mengatakan, pada kontrak yang lama, nilai sewa terminal termasuk pajak sebesar US$ 6 per kiloliter per bulan. Sementara itu, volume BBM yang dititipkan Pertamina sekitar 282,5 ribu kiloliter. Artinya, dalam setahun Pertamina mesti membayar US$ 20,34 juta. (Baca juga: Soal Surat Setya Novanto, Dirut Pertamina: Itu Cuma Urusan Bisnis).
Jumlah tersebut tentu begitu besar bila menimbang nilai perusahaan Orbit. Terminal BBM ini sebelumnya dimiliki PT Oiltanking Merak. Dari anak usaha Oiltanking GmbH, perusahaan asal Jerman, itu Orbit lalu membelinya senilai US$ 100 juta melalui mekanisme kredit. “Kalau nilainya sebesar itu, lebih baik Pertamina yang membeli. Lima tahun sudah lunas,” katanya.
Kisruh sewa tangki ini muncul pada pekan kedua November 2015. Ketika itu publik dihebohkan oleh beredarnya rekaman pertemuan segitiga antara Setya Novanto -Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ketika itu- saudagar minyak Riza Chalid, dan Maroef Sjamsuddin sewaktu masih menjabat Presiden Direktur PT Freeport Indonesia. Rekamanan tersebut menguak skenario percaloan perpanjangan kontrak tambang Freeport.
Setelah transkrip tersebut terkuak, hari berikutnya beredar surat Setya Novanto yang diduga untuk mengintervensi Pertamina. Surat bertanggal 17 Oktober 2015 dengan kop DPR itu ditujukan kepada Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto. Setya meminta Pertamina membayar biaya penyimpanan bahan bakar minyak kepada PT Orbit Terminal Merak, tempat Pertamina biasa menyimpan bahan bakar. (Lihat pula: Tiga Orang di Balik Rekaman Skenario Kontrak Freeport).
Untuk menguatkan permintaannya, Setya Novanto melampirkan sejumlah dokumen. Misalnya, catatan rapat negosiasi antara Pertamina dan PT Orbit tentang penyesuaian kapasitas tangki timbun. “Sesuai dengan pembicaraan terdahulu dan informasi dari Bapak Hanung Budya Direktur Pemasaran dan Niaga sekiranya kami dapat dibantu mengenai addendum perjanjian jasa penerimaan, penyimpanan dan penyerahan Bahan Bakar Minyak,” tulis surat Setya Novanto.
Ketika dikonfirmasi, Diretur Utama Pertamina Dwi Sutjipto membenarkan menerima surat Setya Novanto dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR. “Tapi penyelesaiannya masih terus didiskusikan dengan pihak PT Orbit,” kata Dwi kepada Katadata, saat itu. “Memang ada itu disewa Pertamina, tapi kami tahu bahwa sewa ketinggian, persyaratan kurang fair, jadi perlu revisi.” (Baca: Peran Luhut dalam Transkrip Rekaman Kontrak Freeport).
Atas beredarnya surat tersebut, bagian tata usaha DPR tidak mengakui telah mengeluarkan surat dimaksud. Kepala Bagian Tata Usaha DPR Hani Tahapari menyatakan, surat resmi Dewan semestinya mencantumkan nomor surat. Selain itu, kop lambang DPR seharusnya di pojok kana atas, bukan di tengah atas.