KATADATA - Aturan mengenai ketentuan dan tata cara penetapan alokasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi mulai mendapat sorotan. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 06 tahun 2016 yang diterbitkan pekan lalu itu dianggap bisa membuka praktik perburuan rente.

Mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) Fahmi Radi mengatakan aturan ini membuka peluang penjualan berjenjang antar pelaku usaha distribusi (trader). Sehingga memunculkan adanya pemburu rente dan rantai distribusi makin panjang.

Ujung-ujungnya konsumen bisa dirugikan karena harga bisa makin tinggi. “Pasal 12 itu masih memungkinkan bagi makelar untuk ambil rente dalam menyalurkan gas ke konsumen,” kata Fahmi Radi kepada Katadata, Kamis (17/3). (Baca: Pemerintah Akan Periksa Infrastruktur Pedagang Gas)

Pada pasal 12 Permen 6/2016 dinyatakan bahwa alokasi gas yang telah didapat badan usaha untuk dijual kepada badan usaha lain. Pemerintah mengizinkan hal ini jika sebagian gas yang sudah dialokasikan belum dapat tersalurkan kepada industri pengguna. Alokasi tersebut dapat dijual kepada badan usaha yang memiliki atau menguasai infrastruktur pipa penyalur kepada pengguna akhir dengan harga wajar.

Fahmi yang juga seorang Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) ini juga menyoroti peran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Dalam aturan tersebut Kepala SKK Migas memiliki tugas memberikan pertimbangan kepada Menteri ESDM. Kewenangan inilah yang dinilai rawan terjadinya “kongkalikong”. Apalagi kewenangan SKK Migas menjadi terlalu besar. (Baca: Trader Ancam Gugat Aturan Menteri ESDM Soal Alokasi Gas)

Semestinya kewenangan SKK Migas dibatasi hanya dalam memutuskan keputusan strategis di sektor hulu untuk eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Sedangkan keputusan di tingkat hilir, seperti alokasi migas seharusnya dihilangkan, karena sudah ada Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Untuk itu dalam revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi harus benar diatur fungsi dari SKK Migas dan Badan Pengatur Hilir Migas.

Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja memiliki alasan kenapa pihaknya membolehkan trader menjual kembali alokasi gas yang belum dapat terserap. “Gas hanya boleh dijual ke yang lain jika tiba-tiba user-nya (pembelinya) bangkrut atau pembangunannya user-nya terlambat,” kata dia kepada Katadata. (Baca: Swasta Dapat Izin Jual Gas Bumi Asalkan Punya Infrastruktur)

Bisnis distribusi gas bumi ini memang sangat rawan adanya pemburu rente. Apalagi dengan adanya jatah alokasi untuk dalam negeri yang cukup besar. Data SKK Migas menyebutkan dari total produksi gas bumi 8,111 juta kaki kubik per hari (mmscfd) pada 2015, sekitar 55 persennya dialokasikan untuk dalam negeri

Pemanfaatan alokasi gas bumi dalam negeri paling banyak digunakan untuk industri 18,65 persen dan kelistrikan 13,86 persen. Selain itu, untuk industri pupuk 10,89 persen, LNG domestik 4,41 persen, elpiji domestik 3,12 persen, lifting minyak 3,99 persen, Bahan Bakar Gas transportasi 0,06 persen dan gas kota 0,03 persen. Sisanya untuk ekspor gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) sebesar 32,1 persen dan gas pipa sebesar 12,9 persen.

Reporter: Arnold Sirait, Anggita Rezki Amelia