KATADATA - PT Pertamina (Persero) memperkirakan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Solar berpotensi turun pada April mendatang. Potensi penurunan itu berdasarkan masih rendahnya harga minyak dunia pada awal tahun ini dan tren penguatan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang memperkirakan, harga minyak mentah dalam tiga bulan terakhir hingga 24 Maret nanti masih rendah dan cenderung turun dari periode tiga bulan sebelumnya. Meski ada kemungkinan harga minyak naik pasca kesepakatan Arab Saudi dan Rusia untuk mengerem produksi minyaknya. Namun, di sisi lain, rupiah menguat sehingga bisa menekan nilai impor minyak. “Kalau April pasti turun, kan rata-rata tiga bulan rendah (harga minyak). Tapi kalau harga tiba-tiba tinggi, Pertamina yang rugi," ujarnya di Jakarta, Rabu (17/2).
Meski begitu, Pertamina menyerahkan keputusan mengenai harga BBM penugasan ini kepada pemerintah. Ahmad hanya berharap, pemerintah bisa mengkajinya secara mendalam agar Pertamina tidak lagi menderita kerugian kalau harga minyak tiba-tiba naik.
Sekadar informasi, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberlakukan skema baru penetapan harga BBM jenis Premium dan Solar mulai awal tahun ini. Formula penentuan harganya berdasarkan rata-rata harga minyak dan nilai tukar rupiah dalam tiga bulan terakhir. Artinya, penetapan atau perubahan harga BBM dilakukan setiap triwulanan.
(Baca: Harga Premium Dinilai Tidak Wajar)
Menurut Ahmad, penjualan BBM subsidi dan penugasan selama ini tidak mengandung komponen profit bagi Pertamina. Kalaupun ada untung, itu bisa diperoleh ketika harga minyak dunia rendah. Seperti penjualan selama bulan Januari lalu. “Posisi Januari (BBM) subsidi tidak rugi, tapi untung. Berapa untungnya, tanya saja pemerintah,” ujar dia.
Ia juga belum mau menyebutkan keuntungan Pertamina yang diperoleh dari penjualan BBM secara keseluruhan selama Januari 2016. Yang jelas, mumpung harga minyak rendah, Pertamina mematok margin keuntungan penjualan BBM sebesar 10 persen. “Kalau harga tinggi, tidak sampai 10 persen,” ujarnya.
(Baca: Untung Besar, Pertamina Diminta Turunkan Harga BBM Premium)
Sebagai gambaran, total volume penjualan BBM Pertamina mencapai 100 juta kiloliter atau 100 miliar liter. Dengan margin Rp 100 per liter saja, Pertamina bisa meraup keuntungan sekitar Rp 10 triliun. “Walaupun untungnya kecil tapi volumenya besar.”
Sedangkan pada 2015, Pertamina tertolong oleh penurunan harga minyak di pengujung tahun lalu. Selama periode Oktober-Desember 2015, Pertamina meraup untung dari penjualan BBM penugasan (PSO), meski dari penjualan Premium keuntungannya kecil. Keuntungannya sesuai margin yang ditentukan sebesar 1,4 persen. Meski begitu, keuntungan itu tidak mampu menutup kerugian Pertamina selama periode April-September 2015 ketika harga minyak tinggi namun harga BBM tidak dinaikkan.
(Baca: Pertamina Klaim Tak Dapat Untung dari Harga Premium)
Ahmad menjelaskan, margin keuntungan penjualan BBM non-penugasan seperti Pertamax dan Premium di wilayah Jawa, Madura, Bali (Jamali) berkisar 5-10 persen. Namun, karena kerugian yang diderita dari penjualan Premium di Jamali maka margin keuntungan yang diperoleh Pertamina dari penjualan BBM menciut jadi 2,8 persen. “Total nonpenugasan satu tahun (2015), marginnya cuma 2,8 persen,” katanya.
Di sisi lain, Pertamina mencatatkan lonjakan penjualan volume Pertamax tahun 2015 sebesar empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. “Ini menunjukkan masyarakat memilih kualitas BBM yang lebih baik dengan kondisi harga minyak dunia yang sedang menurun,” katanya. Sementara itu, penjualan Solar bersubsidi turun sekitar 13 persen dibandingkan 2014. Penyebabnya adalah penurunan transportasi darat seiring dengan pelemahan ekonomi pada tahun lalu.