KATADATA - Pemerintah tidak akan memperpanjang kontrak gas yang memiliki jangka waktu panjang. Gas tersebut akan dialihkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri untuk meningkatkan pertumbuhan industri nasional.
Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agus Cahyono Adi mengakui untuk mewujudkan hal itu memang masih ada kendala. Salah satu kendalanya adalah infrastruktur. Maka itu, pemerintah perlu menyiapkan pipa dan terminal penerimaan liquefied natural gas (LNG) atau receiving terminal. (Baca: Kawasan Industri Teluk Bintuni Terganjal Pasokan Gas Tangguh)
Pembangunan fasilitas terminal penerimaan sangat penting karena gas yang diekspor saat ini berbentuk LNG. “Kalau kita tidak punya infrastruktur untuk menerima LNG di dalam negeri, sampai kapanpun terpaksa (gas) diekspor. Karena tidak ada yang bisa ambil," kata dia dikutip dalam situs Direktorat Jenderal Migas, Rabu (17/2).
Pemerintah punya rencana membangun terminal penerimaan LNG ini akan dibangun dalam dua bentuk yakni di darat dan di laut. Terminal penyimpanan LNG ini akan dibangun di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Indonesia Bagian Timur. Harapannya infrastruktur ini dibangun oleh swasta.
Selain membangun terminal penerimaan LNG, pemerintah juga akan menyambung beberapa ruas pipa sehingga terbentuk sistem infrastruktur yang luas. Tahun ini pemerintah berencana menambah pipa yang dapat digunakan secara bersama menjadi 6.153 kilometer (km), dari sebelumnya 4165 km. Tidak hanya itu pemerintah juga akan menambah pipa khusus untuk hilir meningkat dari 4337 km menjadi 9.177 km. (Baca: Pemerintah Siapkan Rp 1,9 Triliun Bangun Enam Infrastruktur Hilir)
Sambil menunggu infrastruktur tersebut terbangun, pemerintah akan menggunakan skema pipa secara maya atau virtual pipeline. Dengan skema ini, gas bumi tidak perlu dipasok melalui sambungan pipa. Pipa ini bisa diganti dengan alat transportasi khusus yang dapat menampung LNG atau gas bumi terkompresi (compressed natural gas/CNG) yang mengantarkan langsung ke tempat penyimpanan di daerah yang memerlukan. Jadi gas bumi dapat dipasok dalam skala kecil atau menengah, tergantung kebutuhan.
Tanpa adanya infrastruktur tersebut, gas yang akan dialokasikan untuk dalam negeri pun tidak akan terserap. Tahun ini saja, Kementerian ESDM memprediksi ada 10,40 kargo gas yang tidak dapat terserap. Kargo tersebut berasal dari Kilang Bontang di Kalimantan Timur.
Dalam catatan neraca LNG 2016 kementerian ESDM, selama 2016, Kilang Bontang akan memproduksi 152 kargo LNG. Dari 152 kargo yang berasal dari Kilang Bontang, 90,60 kargo untuk ekspor yang sudah berkontrak dan 17 kargo untuk domestik yang sudah berkontrak. Dari sisa kargo yang sudah berkontrak tersebut, sebanyak 14,50 kargo akan dijual ke domestik. Dari perhitungan tersebut tersisa 30,40 kargo yang tidak terserap. Tapi dari 30,40 kargo yang tidak terserap, sebanyak 20,00 kargo diusulkan untuk diekspor. Sisanya ada 10,40 kargo yang tidak laku terjual. (Baca: Pemerintah Hapus Batasan Alokasi Gas Dalam Negeri)
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja akan mencoba mencari pembeli untuk kargo yang tidak laku itu. Tapi jika tidak laku juga maka pemerintah akan menjualnya ke pasar spot. Konsekuensinya, harga kargo LNG akan lebih murah. "Harganya sangat tergantung pasar saat itu," ujar Wiratmaja kepada Katadata, Rabu (18/2).
Selain dari Kilang Bontang, gas LNG juga dihasilkan dari Kilang Tangguh di Papua. Untuk 2016, Kilang Tangguh akan memproduksi 115 kargo. Dari total kargo yang diproduksi Tangguh, diprediksi akan laku semua.