KATADATA - Kisruh rencana pengembangan gas Blok Masela masih belum menemukan titik temu. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said masih berseteru. Padahal, dalam waktu dekat Presiden Joko Widodo akan memutuskan skema pengembangan Blok Masela apakah dengan pengolahan di darat atau laut menggunakan kilang terapung (FLNG).
Rizal Ramli mengatakan ada pihak yang berupaya menggiring opini seolah-olah skema FLNG lebih baik dibandingkan skema pembangunan kilang di darat. Padahal menurut dia, skema yang terbaik untuk pengembangan Blok Masela adalah pembangunan kilang di darat. Rizal mengatakan skema di darat lebih murah dibandingkan FLNG. (Baca: Seteru di Balik Kisruh Pengembangan Blok Masela)
Untuk membuktikan hal tersebut, Rizal membandingkan proyek Blok Masela dengan proyek Prelude di Australia. Proyek Prelude menggunakan skema FLNG dengan kapasitas 3,6 juta ton per tahun (mtpa) dan menghabiskan biaya sebesar US$ 3,5 miliar per mtpa. Mengacu pada hal ini, kilang FLNG Blok Masela dengan kapasitas 7,5 mtpa, bisa menghabiskan dana hingga US$ 22 miliar.
Berbeda dengan jika pengolahannya dilakukan di darat, yakni di Pulau Selaru yang letaknya lebih dekat dengan Blok Masela. Investasi yang dibutuhkan hanya sekitar US$ 16 miliar. Nilai ini sudah termasuk biaya pembangunan jalur pipa ke darat sepanjang 90 kilometer dari blok tersebut.
Selain murah, kata Rizal, skema darat juga akan memberikan manfaat pengembangan perekonomian dengan wilayah yang lebih besar dibandingkan skema FLNG. Adanya unit pengolahan gas di Pulau Selaru akan membuka lapangan kerja bagi penduduk lokal. Kondisi ini juga dapat menumbuhkan industri hilir seperti industri pupuk, petrokimia, dan pemanfaatan gas untuk bahan bakar.
Sementara skema FLNG hanya memiliki kandungan lokal yang tidak lebih dari 10 persen dari total nilai investasi, sudah termasuk bahan baku, teknologi, juga sumber daya manusia (SDM). “Dengan berbagai kelemahan dan risiko tersebut, masihkah akan memanfaatkan ladang gas Masela dengan membangun kilang apung,” kata Rizal dalam keterangan resminya, Senin (25/1). (Baca: Kisruh Blok Masela, Faisal Basri: Perusahaan Pipa Punya Siapa?)
Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan skema yang layak untuk pengembangan Blok Masela adalah FLNG. Hal ini didasari dari kajian yang dilakukan oleh konsultan independen Poten and Partner dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).
Namun, ketika hal tersebut dibahas dalam rapat terbatas kabinet pada 29 Desember 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar Kementerian ESDM mengkaji ulang. Jokowi ingin memastikan gas yang ada di Blok Masela dapat memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat.
Sudirman pun kemudian membentuk tim yang terdiri dari Kementerian ESDM, SKK Migas dan beberapa perguruan tinggi untuk mengkaji kembali mengenai skema pengembangan yang tepat. Bahkan, Sudirman meminta SKK migas dan kementeriannya membuka kantor sementara di Ambon. Ini dilakukan untuk mendengar masukan dari perwakilan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa dan ahli-ahli migas di Maluku yang kompeten. (Baca: Gandeng Tiga Universitas, Pemerintah Matangkan Konsep Blok Masela)
Dia juga meminta pihak yang tidak memiliki kepentingan dengan hal ini untuk tidak memberikan pernyataan mengenai Blok Masela. Dia pun meminta dukungan kepada DPR dan meminta Inpex Corporation dan Shell bersabar menunggu keputusan dari Presiden Jokowi. "Saya imbau untuk yang tidak ada otoritas jangan membentuk opini publik,” kata dia dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR Jakarta, Senin (28/1).