Namun sebelum keputusan tersebut diambil, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mengkritik rekomendasi dari SKK Migas. Rizal berpendapat pengembangan tersebut lebih baik menggunakan skema kilang di darat. Dengan begitu akan tercipta efek berantai (multiplier effect). (Baca: Pemerintah Diminta Utamakan Efek Berantai di Blok Masela)

Rizal vs Amien in Block Masela (Katadata)

Polemik mengenai offshore dan onshore pun kemudian berkembang. Dari hitungan SKK Migas, Jika menggunakan FLNG proyek ini ditaksir akan menelan biaya hingga US$ 14,8 miliar. Sedangkan, dengan skema kilang di darat, proyek ini bisa menghabiskan dana hingga US$ 19,3 miliar.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Kementerian ESDM pun akhirnya menunjuk konsultan independen untuk melakukan kajian.  Awal November lalu, Poten and Partners terpilih sebagai konsultan independen dengan menyisihkan 11 kandidat lainnya karena mengajukan harga penawaran terendah. Sedangkan menurut sumber Katadata, Poten dipilih karena telah mengantongi data LNG Arun, Tangguh dan Bontang yang mendalam dan komprehensif dibandingkan kandidat lain. (Baca: Konsultan Blok Masela Dibayar Rp 3,8 Miliar)

Sebagai informasi, Blok Masela dioperatori oleh Inpex Masela Ltd yang memiliki 65 persen saham, sisanya dimiliki oleh Shell Corporation. Cadangan gas Lapangan Abadi di Blok Masela diperkirakan mencapai 10,73 triliun kaki kubik (TCF). Saat PoD 1 yang disetujui pemerintah pada 2010, cadangan gas yang ditemukan di lapangan tersebut hanya 6-9 TCF.   

Peningkatan cadangan ini hasil evaluasi pada tiga sumur pegembangan yang di bor Juni 2013 hingga April 2014. Dengan penemuan cadangan gas baru ini, Inpex mengajukan penambahan kapasitas fasilitas pengolahan gas dari 2,5 juta ton per tahun (MTPA) menjadi 7,5 MTPA.

Halaman:
Reporter: Miftah Ardhian