Jelang Sidang Putusan Setya, Jokowi "Kirim" Dua Pesan ke MKD

Katadata | Arief Kamaludin
Penulis: Yura Syahrul
15/12/2015, 17.03 WIB

Seperti diketahui, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengadukan Setya kepada MKD, 16 November lalu. Pengaduan itu terkait dugaan pencatutan nama Jokowi dan Kalla saat pertemuan Setya bersama M. Riza Chalid dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Dalam pertemuan yang berlangsung awal Juni lalu itu, Setya diduga menggunakan pengaruh dan kedekatannya dengan Jokowi untuk mengupayakan perpanjangan kontrak Freeport dengan harapan mendapatkan imbalan saham dan proyek pembangkit listrik.

Menyikapi pengaduan tersebut, MKD telah menggelar sidang sebanyak empat kali sejak awal bulan ini. Sidang pertama dan kedua yang mendengarkan pengaduan Sudirman dan kesaksian Maroef berlangsung tertutup. Bahkan, sidang itu memperdengarkan secara terbuka rekaman percakapan ketiga tokoh tersebut selama 1 jam 27 menit.

Sedangkan sidang ketiga yang menghadirkan Setya berjalan tertutup dengan dalih informasi yang disampaikan Ketua DPR tersebut bersifat rahasia. Selain itu, dalam nota pembelaan yang dibacakannya di dalam sidang MKD, Setya mempersoalkan rekaman percakapannya dengan Riza dan Maroef yang didapatkan secara ilegal.

Adapun, Senin kemarin, sidang MKD diisi dengan penjelasan dari Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan. Pasalnya, dalam rekaman tersebut, nama Luhut disebut sebanyak 66 kali.

(Baca: Peran Luhut dalam Transkrip Rekaman Kontrak Freeport)

Seusai sidang Setya yang berlangsung tertutup 7 Desember lalu, Jokowi juga sempat bersuara keras. Ia menyatakan, proses yang berjalan di MKD harus dihormati. Tetapi, tidak boleh yang namanya lembaga negara dipermain-mainkan. “Lembaga negara itu bisa Kepresidenan, bisa lembaga-lembaga negara lain,” katanya.

Presiden juga menegaskan, dirinya tidak masalah disebut “Presiden Gila”, “Presiden Sarap”, “Presiden Koppig”. “Tapi kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut meminta saham 11 persen itu yang saya gak mau! Gak bisa!” Jokowi menambahkan, itu adalah masalah kepatutan, masalah kepantasan, masalah etika dan masalah moralitas. “Dan itu masalah wibawa negara,” pungkasnya.

Halaman:
Reporter: Yura Syahrul