KATADATA - Satu per satu infomasi keluar dari rekaman pertemuan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto dengan pengusaha migas Muhamad Reza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin. Dalam pertemuan di Pacific Place, Jakarta pada 8 Juni 2015 itu, Maroef mengancam akan menggugat Indonesia ke badan arbitrase internasional jika pemerintah tak memberi kejelasan perpanjangan kontrak perusahannya.
Maroef Sjamsuddin (MS): Pak, itu harus ada yang perlu dihitung sekarang. Waktunya tinggal enam minggu dari sekarang. Dari enam isu yang saya kasih Pak Ketua itu, waktunya tinggal enam minggu dari sekarang. Kalau itu tidak keluar, katakanlah 23 Juli nanti, tanggal 1 Juli tidak ada kepastian, maka kita akan arbitrase internasional. (Baca juga: Sudirman Said Beberkan Jejak Setya Novanto dalam Skandal Freeport).
Muhamad Reza (MR): Apa?
MS: Arbitrase internasional jalan. Tidak ada lagi itu. 1 Juli lah Pak sudah ada kepastian. Sekarang apa guarantee-nya kalau permintaan itu dipenuhi, ini juga keluar. Apa garansinya kalau permintaan itu ada singnal, 1 Juli sudah ada signal, apa garansinya? Ya to Pak. Apa garansinya.
Lima bulan berlalu, gertakan tersebut tidak kunjung dilakukan. Apakah ini hanya trik Freeport dalam bernegosiasi untuk memerpanjang kontrak yang akan berakhir pada 2021? Tak ada jawaban pasti hingga rekaman yang membuat geger itu kini diperiksa oleh Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat. Publik tak mendengar ada langkah hukum Freeport.
Rupanya, di sini ada peran Sudirman Said. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ini mengatakan sudah membujuk Freeport agar tidak mengambil jalur hukum. “Kan saya minta mereka tidak masuk ke legal battleground. Sudah ikut kan. Jangan gunakan hukum semata-mata,” kata Sudirman kepada Katadata, Rabu, 2 Desember 2015. (Baca pula: Dicatut Setya Novanto-Reza 66 Kali, Luhut Tak Ambil Pusing).
Selain mengungkap rencana gugatan ke arbitrase, dalam pertemuan tersebut Maroef sempat menyinggung rencana pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter. Menurutnya, pabrik smelter tidak harus dibangun di Papua.
MR: Jadi gini Pak. Ini bahan dari Pak Luhut dan timnya. Sudah baca?
MS: Perpres sudah baca, yang percepatan pembangunan ekonomi Papua.
MR: Jadi mereka itu kan mau maju dulu dibangun di sana. Apa sudah ada konsep di sana? Dari Pak menteri
MS: Oh tidak begitu.
MR: Jadi tetap di Gresik
MS: Oh ndak, UU tidak mengatakan begitu. PP juga tidak mengatakan begitu. Jadi pemurnian harus dibangun di dalam negeri. PP-nya juga begitu, pemurnian itu dilakukan 100 persen di dalam negeri. Kemudian tanggal 23 Januari 2015, pas setengah bulan yang lalu, itu persyaratan untuk memperpanjang izin ekspor harus melengkapi. Salah satu di antara enam itu harus menentukan excact location. Satu lagi soal feasibilty study. Dapatlah di Gresik. Jadi tidak ada yang mengatakan harus di Papua. Setelah kita umumkan di Gresik dan kita tanda tangani 23 Januari itu baru muncul Pemda Papua yang mengatakan harus dibangun di Papua.
Setaya Novanto (SN): Terus janji Presiden. (Baca: Sudirman Said Beberkan Jejak Setya Novanto dalam Skandal Freeport).
MS: Ya betul, kemudian Presiden ke sana, janjikan oke kalau gitu dibangun. Kalau kita bangun di Papua siapa yang mau kasih. Di Gresik saja sudah 2,3 M. Kalau di Papua bisa hampir 4 M. Dari mana mau dananya. Gak mungkin bangun di Papua.
Satu setengah bulan setelah pertemuan tersebut, Kementerian Energi memang mengeluarkan rekomendasi perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga 775 ribu ton untuk enam bulan kepada Freeport. Pemerintah menganggap perusahaan tambang itu sudah memenuhi seluruh persyaratan. Rekomendasi berupa surat persetujuan ekspor ini dikirim ke Kementerian Perdagangan agar izin ekspor segera diterbitkan.
Syarat yang terpenuhi yakni Freeport sedang membangun smelter di Gresik, Jawa Timur dengan kapasitas dua juta ton konsentrat tembaga senilai US$ 2,3 miliar. Ketika itu, tingkat kemajuan pembangunan pabriknya sudah mencapai 11 persen. Karenanya, Freeport mendapatkan pengurangan bea keluar (BK) ekspor konsentrat dari 7,5 menjadi lima persen. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.011/2014.
Adapaun bila pembangunannya baru 0 - 7,5 persen, bea keluarnya 7,5 persen. Sedangkan, jika kemajuannya dihitung berdasarkan serapan dana investasi 7,5 - 30 persen, perusahaan tambanag hanya dikenai bea keluar lima persen.