KATADATA - Pemerintah menyiapkan empat mekanisme perhitungan bagi hasil yang akan digunakan pada kontrak Blok Mahakam yang baru. Skema baru yang akan digunakan bisa menjadi model dan acuan untuk diterapkan pada blok migas yang lain.

Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan usulan mekanisme ini didasarkan pengelolaan suatu blok yang terdiri dari banyak lapangan. Meski statusnya sudah produksi, Blok Mahakam masih memiliki banyak lapangan eksplorasi. Dari lapangan yang sudah berproduksi pun ada beberapa sumur yang belum dieksplorasi.

Pemerintah ingin bagi hasil yang didapat dari perpanjangan kontrak Blok Mahakam lebih besar dari yang diterima saat ini. Meski demikian, pemerintah juga tidak mau menanggung pergantian biaya (cost recovery) yang juga besar. (Baca: Bagi Hasil Blok Mahakam untuk Pertamina Melebihi Total)

Perhitungan biaya dari lapangan yang belum berproduksi di Blok Mahakam harus dipisah dari biaya untuk lapangan yang sudah berproduksi. Karena jika tidak, pemerintah harus menanggung biaya eksplorasi yang dikeluarkan KKKS. Sehingga akan mengurangi penerimaan yang didapat negara dari hasil produksi migas. Padahal sumur eksplorasi tersebut belum berproduksi.

Makanya, agar keinginannya bisa diterima oleh KKKS, pemerintah menyiapkan empat opsi akan digunakan untuk Blok Mahakam atau blok-blok migas lainnya. "Kemarin ada empat konsep untuk mahakam sedang kami bahas," kata Djoko di gedung DPR Jakarta, Senin (24/11). Setelah pembahasannya selesai, Menteri ESDM akan memutuskan skema apa yang akan digunakan pada Blok Mahakam. (Baca: Negosiasi Alot, Penandatanganan Kontrak Blok ONWJ Mundur)

Dari empat skema yang sedang dibahas, ada tiga yang perhitungan bagi hasilnya berdasarkan lapangan. Satu skema lainnya menggunakan perhitungan berdasarkan wilayah kerja atau blok. Skema pertama, untuk lapangan yang sudah berproduksi, bagi hasil pemerintah akan lebih besar dari kontrak sebelumnya. Bagi hasil yang awalnya 70 persen pemerintah dan 30 persen KKKS (70:30), bisa menjadi 72:28.

Skema kedua, untuk lapangan yang masih eksplorasi, bagi hasil yang didapat KKKS lebih besar dari sebelumnya. Bagian pemerintah bisa berkurang menjadi 40 persen dan KKKS mendapat 60 persen (40:60). “Ini namanya dynamic split,” ujarnya. Ketiga, untuk lapangan yang sudah beroperasi tapi masih perlu diolah lagi, bagi hasilnya 70:30.

"Nah ada satu lagi, untuk menggabungkan semuanya pakai revenue to cost (R/C), untuk melihat berapa angka-angka alternatif lain," ungkap Djoko. Revenue over cost artinya penerimaan dibagi dengan biaya. Semakin besar hasil yang didapatkan, maka makin besar pula split bagi negara. (Baca: Lapangan Migas yang Tak Ekonomis, Bisa Ubah Kontrak)

Menurut Djoko, empat skema ini juga untuk menanggapi usulan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Kepala SKK Migas sempat mengusulkan perubahan perhitungan pendapatan dan biaya (ring fencing), dari yang berdasarkan wilayah kerja (Block Basis) menjadi berdasarkan lapangan (Field Basis).

Reporter: Anggita Rezki Amelia