Grup Bakrie Kelola Blok Gebang, Pemerintah Dapat Bonus US$ 2 Juta

KATADATA
Bakrie Tower | KATADATA
Penulis: Yura Syahrul
10/11/2015, 16.39 WIB

KATADATA - Penandatanganan kontrak bagi hasil (PSC) Blok Gebang akan dilakukan pada Jumat nanti (13/11). Pengelolaan blok minyak dan gas bumi di Sumatera Utara itu akan diserahkan kepada anak usaha Grup Bakrie, yaitu PT Energi Mega Persada Tbk (EMP).

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan blok tersebut diserahkan ke EMP karena PT Pertamina (Persero) tidak tertarik mengelolanya. Padahal, dalam Peraturan Menteri Nomor 15 tahun 2015 tentang wilayah kerja migas yang habis masa kontraknya, Pertamina mendapatkan prioritas pertama untuk mengelolanya. Namun, ternyata Pertamina tidak tertarik mengelola Blok Gebang.

"Padahal priority Pertamina. Kalau Pertamina tidak tertarik baru dikasih ke eksisting operator. Kalau tidak tertarik juga maka kerjasama, dan jika kerjasama tidak mau maka dilakukan lelang," kata Wiratmaja di Jakarta, Selasa (10/11).

Sekadar informasi, masa kontrak Blok Gebang berakhir pada tahun ini. Blok yang menyimpan cadangan gas sebanyak 39,5 miliar kaki kubik (TCF) per 30 Juni 2015 ini dikelola oleh PT PHE Gebang North Sumatra, anak usaha Pertamina, sebagai operator dengan porsi kepemilikan saham sebesar 50 persen. Dalam pengoperasiannya, PHE bermitra dengan Costa International Group Ltd. yang juga mengempit 50 persen saham.

Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam memang membenarkan bahwa Pertamina tidak tertarik mengelola Blok Gebang. Alasannya, blok tersebut tidak ekonomis. "Keputusan Pertamina untuk melakukan investasi atau tidak, termasuk dalam strategi pengelolaan wilayah kerja, tentu menjadi pertimbangan utamanya adalah keekonomian," ujar dia kepada Katadata.

Sementara itu, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, pemerintah akan menerima bonus tandatangan (signature bonus) saat kontrak tersebut diteken nantinya. Nilainya sebesar US$ 2 juta atau sekitar Rp 27 miliar.

Menurut Djoko, angka tersebut sudah lebih tinggi dari aturan, yakni minimal nilai bonus tandatangan suatu kontrak migas sebesar US$ 1 juta. Penentuan nilai bonus tersebut berdasarkan negosiasi dengan pihak operator. “Negosiasi di situ mulai US$ 5 juta, kemudian 1,5 juta.  Terakhir diputuskan US$ 2 juta karena berdasarkan peraturan minimum signature bonus adalah US$ 1 juta," katanya.

Reporter: Arnold Sirait