KATADATA ? Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli tidak menyetujui rencana PT Pertamina (Persero) membangun tangki timbun (storage) bahan bakar minyak (BBM). Alasannya, rencana tersebut tidak efisien karena Pertamina harus merogoh kocek sebesar US$ 2,4 miliar atau sekitar Rp 34,1 triliun.
Rizal menjelaskan, rencana Pertamina membangun tangki timbun BBM dibahas dalam rapat bersama Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri, Selasa kemarin (8/9). Tujuannya untuk meningkatkan stok operasional BBM dari 18 hari menjadi 30 hari. Untuk itu dibutuhkan dana sekitar US$ 2,4 miliar. Meski begitu, ?Presiden dan para menteri pada waktu itu memutuskan ini bukan prioritas,? kata Rizal di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, Rabu (9/9).
Pembangunan tangki timbun itu tidak diprioritaskan karena Pertamina mengimpor sekitar 500 ribu barel minyak mentah dan 500 ribu finished oil (BBM) setiap hari. Impor minyak itu untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri. ?Jadi mengapa kita bikin storage,? tukas Rizal. Ketimbang Pertamina, lebih baik pihak penjual atau pemasok minyak yang membuat tangki timbun. Dengan begitu, Pertamina bisa menghemat pengeluaran sebesar US$ 2,4 miliar.
Tak cuma itu, Rizal mempersoalkan rencana Pertamina membangun jaringan pipa BBM seluruh Indonesia. "Apakah ini betul-betul sudah urgent?? katanya. Pasalnya, distribusi BBM selama ini menggunakan transportasi truk dan kapal. Sebaliknya, menurut dia, yang lebih mendesak adalah membangun jaringan pipa gas sebagai sumber energi masa depan.
Di tempat yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said membantah adanya penolakan pemerintah terhadap rencana pembangunan tangki timbun BBM oleh Pertamina. Yang benar adalah, pembangunan tangki timbun diperluas sehingga juga melibatkan pihak sawsta. ?Bukan berarti batal. Pertamina bangun (storage), swasta juga bangun,? katanya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan Pertamina dan swasta bekerjasama membangun tangki timbun.
Menurut Sudirman, memang lebih ideal pihak pemasok yang membangun tangki timbun di dalam negeri. Namun, tetap harus ada stok BBM yang bisa dikontrol sendiri oleh pemerintah dan Pertamina. ?Jadi intinya dari sekarang 21 hari menuju 30 hari itu harus urusan Pertamina,? tandasnya.
Sedangkan manajemen Pertamina tidak terpengaruh dengan penilaian Rizal tersebut. ?Justru Presiden memberi arahan agar cadangan (BBM) nasional meningkat. Berarti perlu tambahan storage,? kata Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto. Berdasarkan arahn Presiden Jokowi, Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro menambahkan, Pertamina akan meneruskan proyek-proyek yang ada agar tidak membebani anggaran negara dan keuangan perusahaan.
Seperti diketahui, pemerintah berencana membangun fasilitas cadangan penyangga BBM nasional dengan investasi sekitar US$ 17,25 miliar atau Rp 224 triliun. Untuk membangun cadangan penyangga 30 hari, fasilitas tersebut harus bisa menampung 45 juta barel BBM. Asumsinya jika konsumsi BBM per hari 1,5 juta barel. Pembangunan cadangan penyangga ini untuk menjaga ketahanan energi nasional. ?Untuk membangun cadangan penyangga ini dapat dilakukan oleh BUMN dan swasta, termasuk isinya,? ujar Dirjen Migas Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja. (Baca: Pemerintah Akan Bangun Fasilitas Penyangga BBM Rp 224 Triliun)
Hingga saat ini Indonesia belum memiliki cadangan penyangga energi nasional. Hanya ada cadangan operasional Pertamina selama 22 hari untuk BBM dan 12 hari untuk LPG. Tanpa cadangan penyangga, ketahanan energi Indonesia bisa terancam.
(Ekonografik: Momentum Indonesia Borong Minyak)
Sejumlah negara telah memiliki cadangan, misalnya Singapura dan Thailand. Padahal konsumsi minyak per hari kedua negara ini lebih hanya sekitar 1,27 juta barel, lebih rendah dari Indonesia yang mencapai 1,64 juta barel. Namun, dua negara tersebut telah memiliki cadangan minyak masing-masing 60 dan 81 hari.