Ancaman Krisis Minyak bagi Pemerintah Baru

KATADATA/
Isi form di halaman ini untuk mengunduh berkas PDF Riset
Penulis:
Editor: Arsip
28/5/2014, 11.01 WIB

Selain memicu defisit neraca perdagangan, peningkatan konsumsi dan impor minyak dan BBM telah memberatkan fiskal, meningkatkan defisit migas dan defisit neraca perdagangan, membebani cadangan devisa hingga menekan nilai tukar rupiah.

Sebagai gambaran, saat defisit migas mencapai puncaknya pada Juli 2013 yang mencapai minus US$ 1,85 miliar, defisit neraca perdagangan juga mencapai puncak sepanjang sejarah Indonesia, yakni minus US$ 2,3 miliar. Besarnya kebutuhan valas untuk impor migas membuat cadangan devisa terkuras sehingga mencapai level terendah pada Agustus 2013, menjadi US$ 92 miliar. Pada periode itu, kurs rupiah juga terjun bebas hingga 7 persen menjadi rata-rata Rp 10.900 per dolar AS.

Tren kenaikan konsumsi dan penurunan produksi minyak diperkirakan akan berlanjut pada lima tahun mendatang, saat pemerintah baru berkuasa. Peningkatan penjualan mobil sebesar 7 persen per tahun selama periode 2012 - 2018 menjadi pemicu utama peningkatan konsumsi BBM.

Pada saat pemerintah baru berkuasa, Indonesia bukan hanya akan menjadi importir minyak berpengaruh. Laporan Wood Mackenzie pada 2013, bahkan memperkirakan Indonesia akan menjadi importir BBM terbesar di dunia pada 2018 dan penyumbang defisit BBM terbesar di Asia Pasifik. Pada 2019, selisih antara konsumsi dan produksi minyak juga diperkirakan akan mencapai 1 juta barel per hari sehingga impor minyak dipastikan bakal meningkat. 

Karena itu, tantangan dan ancaman krisis minyak bakal dihadapi oleh  pemerintah baru. Beban berat akibat lonjakan impor minyak dan BBM akan kembali menjadi ancaman serius terhadap neraca perdagangan, neraca pembayaran, cadangan devisa dan nilai tukar rupiah. 

Halaman:
Reporter: Redaksi