Anies dan Pemerintah Pusat Selisih Tangani Corona, Dampaknya ke Publik

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pras.
Sejumlah kendaraan melintas di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (10/4/2020). Anies Baswedan kerap berbeda sikap dengan pemerintah pusat terkait penanganan corona.
12/5/2020, 14.35 WIB

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengkritisi cara pemerintah pusat dalam menangani pandemi virus corona. Mulai dari pengetesan virus corona sampai inkonsistensi kebijakan pemerintah pusat tekait pandemi.

Seluruh kritik tersebut disampaikan Anies dalam wawancara dengan The Sidney Morning Herald, sebuah media massa berbasis di Australia. Beritanya terbit pada 7 Mei dengan judul Tak Diperbolehkan Melakukan Pengetesan: Gubernur Jakarta Melakukan Pelacakan Covid-19.

Anies mengaku telah berinisiatif melacak penyebaran virus corona lewat pengetesan massal di DKI Jakarta pada 6 Januari. Namun, kebijakan ini tak direstui pemerintah pusat. Walhasil pengidap covid-19 di ibu kota pun tak bisa diketahui saat itu. Padahal, klaimnya, angka penderita penyakit yang saat itu masih disebut sebagai pneumonia Wuhan di DKI Jakarta meningkat.

Secara khusus, Anies pun menyatakan frustasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dinilainya lambat menangani corona. Ia mengaku sampai harus mendorong kebijakan pembatasan interaksi agar Kemenkes merespons bahaya corona.

Hal lain yang dikeluhkan Anies dalam kesempatan ini, adalah pemerintah pusat yang mengimbau masyarakat tak percaya dengan data corona keluaran DKI Jakarta. Salah satunya perihal peningkatan angka pemakaman di Jakarta yang dikatakan pemerintah pusat belum tentu karena corona.

DKI Jakarta memang menjadi sorotan terkait penyebaran corona. Wilayah ini menjadi episentrum utama penyebaran sejak dua pasien awal diumumkan pada 2 Maret oleh Jokowi. Hingga kemarin (11/5), tercatat 5.276 kasus positif dengan rincian 441 orang meninggal dunia dan 812 dinyatakan sembuh.

(Baca: BNPB Klaim PSBB Tekan Sebaran Covid 19 di Jabodetabek dan Makassar)

Beda Sikap Anies dan Pemerintah Pusat

Selain itu, Anies pun menjadi pemimpin daerah pertama yang gencar menyuarakan bahaya corona. Akan tetapi, dalam catatan kami, suaranya kerap berbanding terbalik dengan sikap pemerintah pusat.

Misalnya terkait kebijakan lockdown. Pada pertengahan Maret, Anies mulai menyuarakan keinginan untuk melakukan lockdown. Namun, suara ini tak langsung disambut oleh pemerintah pusat. Akhirnya mengirimkan permintaan secara resmi ke Jokowi pada 30 Maret dan diterima sehari setelahnya.

Alih-alih kebijakan tersebut diterima, Jokowi justru memilih melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Jokowi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2020 dan Keppres Nomor 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Kedua peraturan tersebut merupakan pengejawantahan dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang berisi langkah-langkah untuk pemerintah jika terjadi pandemi.

Dalam kesempatan itu, Jokowi menyatakan pemerintah daerah tak boleh mengambil kebijakan berbeda dengan pusat. Kewenangan pemberian izin kepada daerah untuk melakukan PSBB pun harus melalui persetujuan pusat sebagaimana amanat UU Kekarantinaan Kesehatan.

DKI Jakarta akhirnya resmi mendapat izin melakukan PSBB dari Kemenkes pada 10 April. Kebijakan ini berlangsung selama 14 hari sampai 24 April. Namun, akhirnya diperpanjang sampai 22 Mei mengingat belum ada penurunan kasus corona secara signifikan di Jakarta.

(Baca: Mendagri Ingatkan Anies: Lockdown Wewenang Presiden Karena 7 Faktor)

Selanjutnya terkait kebijakan larangan perjalanan bus antar kota antar provinsi (AKAP). Pemprov DKI melarang perjalanan bus AKAP pada 29 Maret. Namun, kebijakan ini harus dibatalkan sehari setelahnya karena pemerintah pusat melalui Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan memperbolehkan bus AKAP tetap beroperasi.

Luhut saat itu berpendapat, izin operasional untuk AKAP tetap berlaku lantaran pemerintah masih mengkaji dampak ekonominya secara menyeluruh.

Akan tetapi, tak lama setelah perbedaan kebijakan itu terjadi, pemerintah pusat akhirnya resmi melarang seluruh moda transportasi beroperasi. Hal ini seiring larangan mudik lebaran 2020 yang dikeluarkan Kementerian perhubungan.

Terbaru, adalah terkait rencana Jokowi melonggarkan PSBB mulai awal Juni nanti. Pada 30 April, Anies justru mengeluarkan Pergub Nomor 41 tahun 2020 yang mengatur sanksi bagi pelanggar PSBB Jakarta. Misalnya sanksi bagi yang tidak mengenakan masker berupa denda sebesar Rp 100 ribu sampai Rp 250 ribu.

(Baca: Jokowi Beri Tenggat Pengendalian Corona di Pulau Jawa Hingga Lebaran)

Dampak ke Publik

Terkait perbedaan sikap dalam menangani corona antara Anies dan pemerintah pusat, Pengamat Kebijakan Publik Unviersitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menilai dapat merugikan publik. Karena publik akan dibuat bingung dan akhirnya kesulitan mematuhi seluruh kebijakan tersebut.

“Kalau masyarakat sudah abai, penanganan corona akan semakin lambat,” kata Trubus kepada Katadata.co.id, Selasa (12/5).

Sementara, kata Trubus, semakin lambat penanganan corona peluang bertambahnya korban akan besar. Begitupun ekonomi sangat berpeluang makin terpuruk. Padahal angka pengangguran sudah membengkak, seperti dinyatakan Kemenaker yang mencapai 1,7 juta orang per akhir April lalu.

Trubus menyatakan, dalam masa pandemi ini dibutuhkan koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah dalam membuat kebijakan publik. Pemerintah pusat harus mendengar masukan pemerintah daerah. Sebaliknya pemerintah daerah tak boleh mengambil inisiatif sendiri.

“Keppres kedaruratan kesehatan itu sudah jelas bahwa penanganan pandemi harus terpusat,” kata Trubus.

Lagi pula, kata Trubus, sistem pemerintahan negeri ini adalah presidensil yang berarti kebijakan terpusat di bawah presiden. Sementara pemerintah daerah adalah wakil pemerintah pusat, sebagaimana diamanatkan peraturan otonomi daerah.

Oleh karena itu, menurut Trubus, Anies lebih baik mengikuti peraturan pemerintah pusat. Dengan begitu, penanganan corona akan lebih efektif dan terhindar dari polemik di publik. Apalagi jabatan gubernur dan presiden bersifat politis dan berpeluang memunculkan politisasi di masyarakat.

“Jangan sampai masyarakat malah memandang Pak Jokowi dan Pak Anies sedang bersaing secara politik. Itu kontraproduktif dengan penanganan covid-19,” kata Trubus.

(Baca: Jokowi Sebut Persyaratan Rencana Pelonggaran PSBB)