Raih Dana Norwegia, Pemerintah Dorong Peran Warga Atasi Deforestasi

ANTARA FOTO/M N Kanwa/aww.
Asap mengepul akibat kebakaran hutan di wilayah Nongsa, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (15/4/2020). Pemerintah diminta mendorong keterlibatan masyarakat untuk menangani masalah deforestasi.
Editor: Ekarina
28/5/2020, 19.13 WIB

Pemerintah Norwegia bakal mengucurkan dana sebesar US$ 56 juta atau setara Rp 840 miliar kepada pemerintah Indonesia atas keberhasilannya menekan emisi gas kaca (GKC) berdasarkan letter of intent (LoI) pada 2010. Untuk meningkatkan manfaat kerja sama, pemerintah diminta mendorong penanganan deforestasi dan degradasi di Tanah Air dengan lebih banyak melibatkan elemen masyarakat.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya menilai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar dana ini digunakan untuk beberapa program pemulihan hutan dan lingkungan hidup berbasis masyarakat sudah cukup tepat.

(Baca: Punya Hutan Luas, RI Bisa Raup Rp 350 Triliun Dari Perdagangan Karbon)

Pasalnya, upaya tersebut berpotensi menyumbang 34,6% terhadap pencapaian target NDC Indonesia terhadap pengurangan deforestasi jika difokuskan pada wilayah dengan risiko deforestasi tinggi.  Hal tersebut juga harus disertai pendampingan maksimal untuk pengembangan ekonomi lokal.

Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH)  yang diberi mandat untuk mengelola dana tersebut harusmemastikan adanya perwakilan multi pihak dalam struktur tata kelola. "Termasuk masyarakat sipil dan masyarakat adat agar program pengurangan deforestasi dan degradasi yang dijalankan tepat sasaran dan bermanfaat bagi komunitas," kata Teguh melalui siaran pers yang diterima katadata.co.id, Kamis (28/5).

Menurut dia, selama periode 2016-2017 Indonesia mampu mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sebesar 11,2 juta ton CO2e. Sedangkan angka deforestasi kotor peiode 2018-2019 yaitu 465,5 ribu hektare dan angka deforestasi bersih  sebesar 462,4 ribu hektare.

Meskipun penurunannya  tak signifikan, Teguh penurunan angka deforestasi ini cukup diapresiasi. Hanya saja, untuk meningkatkan posisi tawar dalam perdagangan kredit karbon internasional, pemerintah harus mengurangi lebih banyak lagi deforestasi yang terjadi akibat aktivitas industri.

"Pemerintah harus menghentikan pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut, penundaan dan evaluasi izin perkebunan kelapa sawit, perhutanan sosial termasuk memberikan pengakuan terhadap hutan adat," kata dia.

(Baca: Desakan Transisi Energi Nonfosil Global dan Implikasinya ke Indonesia)

Secara kumulatif, berdasarkan catatan Yayasan Madani Berkelanjutan deforestasi bruto tertinggi pada periode 2003-2018 terjadi di Provinsi Riau seluas 1,8 juta hektare, disusul Kalimantan Tengah 1,4 juta hektare, Kalimantan Timur 1,2 juta hektare dan Kalimantan Barat 1,16 juta hektare.

Sementara itu, hutan alam tersisa Indonesia pada 2018 paling luas terdapat di Provinsi Papua 24,9 juta hektare, Papua Barat 8,8 juta hektare, Kalimantan Tengah 7,2 juta hektare, Kalimantan Timur 6,5 juta hektare, Kalimantan Utara 5,6 juta hektare dan Kalimantan Barat 5,4 juta hektare.

Adapun pembayaran hasil kerja penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar Rp 840 miliar akan dibayarkan Norwegia pada Juni mendatang. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya mengatakan, momen ini bertepatan dengan peringatan kerja sama kedua negara yang telah terjalin selama 10 tahun terakhir dalam kerja sama pendanaan iklim melalui komitmen nota kesepakatan pada 2010 lalu.

Sementara itu, KLHK memprediksi Indonesia memiliki potensi tambahan pendapatan Rp 350 triliun melalui jual beli kredit karbon. Ini dikarenakan luasnya lahan gambut dan hutan sebagai penyerap karbon yang dimiliki RI.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto