Mengenal Istilah B20, B30, B100, BBN dalam Bioenergi

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Presiden Joko Widodo (kiri) mendengarkan penjelasan dari Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati (kanan) saat peresmian implementasi program Biodiesel 30 persen (B30) di SPBU Pertamina MT Haryono, Jakarta, Senin (23/12/2019). Implementasi program campuran minyak sawit mentah sebanyak 30 persen dalam bahan bakar minyak jenis Solar (Biodiesel 30 persen) itu untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil serta mengurangi impor bahan bakar minyak.
Penulis: Pingit Aria
11/6/2020, 17.03 WIB

Sejak Januari 2020, seluruh SPBU yang menyediakan bahan bakar ramah lingkungan telah menjual biosolar dengan kadar biodiesel 30% atau B30. Kadar biodiesel ini ditingkatkan dari sebelumnya 20%.

Program Mandatori B30 yang menjadi salah satu program strategis Presiden Joko Widodo dalam menekan defisit neraca dagang. Di mana, minyak sawit lokal diserap di dalam negeri untuk memproduksi biodiesel.

Dalam kondisi pandemi corona dan perekonomian global yang lesu, industri-industri yang menggunakan bahan baku minyak kelapa sawit kini mengurangi produksinya. Dampaknya, permintaan dunia akan minyak sawit juga menurun dan dipastikan menekan harga di tingkat petani.

Di sini, kebutuhan untuk B30 membuat harga sawit menjadi relatif terjaga. "Untung saja Indonesia ada program B30 sehingga penurunan permintaan minyak sawit tak terlalu signifikan," kata Raden Pardede melalui keterangan tertulis, Rabu (10/6).

(Baca: Permintaan Global Lesu Tekan Ekspor Minyak Sawit Hingga April )

Masih terkait dengan B30, biodiesel, selain bioethanol dan minyak nabati murni termasuk Bahan Bakar Nabati (BBN). BBN merupakan salah satu bentuk bioenergi atau energi terbarukan yang berasal dari bahan baku organik.

Sebelum program mandatori B30, pemerintah memberlakukan program B20. Artinya, pemerintah yang mewajibkan pencampuran 20% Biodiesel dengan 80% bahan bakar minyak jenis Solar.

Program ini mulai diberlakukan sejak Januari 2016 sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

Sedangkan program B30 yang berlaku saat ini adalah pencampuran 30% Biodiesel dengan 70% bahan bakar minyak jenis Solar, yang menghasilkan produk Biosolar B30.

(Baca: RI Bersiap Ajukan Sengketa Sawit ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO)

Program ini akan diberlakukan mulai Januari 2020 sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

Tahapan Kewajiban Minimal Pencampuran Biodiesel (Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015), yaitu sebagai berikut:

SektorApril 2015Januari 2016Januari 2020
Usaha kecil, perikanan, pertanian, transportasi dan pelayanan umum (PSO)15%20%30%
Transportasi non-PSO15%20%30%
Pembangkit listrik20%30%30%
Industri dan komersial15%20%30%

Kemudian, B100 adalah istilah untuk Biodiesel yang merupakan bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi. 

Dikutip dari laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), proses transesterifikasi adalah proses pemindahan alkohol dari ester, namun yang digunakan sebagai katalis (suatu zat yang digunakan untuk mempercepat laju reaksi) adalah alkohol atau methanol.

IMPLEMENTASI BIODIESEL 30 PERSEN (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)

Proses pembuatan Biodiesel umumnya menggunakan reaksi metanolisis (transesterifikasi dengan metanol) yaitu reaksi antara minyak nabati dengan metanol dibantu katalis basa (NaOH, KOH, atau sodium methylate) untuk menghasilkan campuran ester metil asam lemak dengan produk ikutan gliserol.

Selain Biodiesel, Pemerintah juga telah mengatur BBN jenis lainnya yakni Bioetanol yang dikenal dengan istilah E100 dan Minyak Nabati Murni atau dengan istilah O100 .

Untuk pemakaiannya, Biodiesel dan Bioetanol akan dicampurkan dengan bahan bakar fosil pada persentase tertentu. Dalam hal ini, untuk Biodiesel dicampurkan dengan Solar, sedangkan Bioetanol dicampurkan dengan Bensin.

(Baca: Konsorsium Grup Bakrie Bangun Pabrik Metanol Bernilai Rp 29 Triliun)

Saat ini Pemerintah juga aktif mendorong pengembangan BBN biohidrokarbon yang karakteristiknya sama atau bahkan lebih baik daripada senyawa hidrokarbon/BBM berbasis fosil.

BBN Biohidrokarbon yang ramah lingkungan ini dapat langsung digunakan (drop-in) sebagai substitusi BBM fosil  tanpa perlu penyesuaian mesin kendaraan. BBN biohidrokarbon ini dapat dibedakan menjadi green-gasolinegreen-dieseldan bioavtur.

Tujuan Implementasi Program Mandatori BBN sebagai berikut:

- Meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi;

- Stabilisasi harga CPO;

- Meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri kelapa sawit;

- Memenuhi target 23% kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam total energi mix pada 2025;

- Mengurangi konsumsi dan impor BBM;

- Mengurangi emisi; dan

- Memperbaiki defisit neraca perdagangan.

Indonesia adalah negara pertama yang berhasil mengimplementasikan B20 dengan bahan baku utama bersumber dari kelapa sawit. Negara lain yang telah berhasil mengimplementasikan B20 adalah Minnesota, Amerika Serikat mulai Mei 2018. Adapun Kolombia baru pada tahap B10 dari tahun 2011 dan Malaysia baru pada tahap B10 pada tahun 2019.

Reporter: Antara