Kalung Eucalyptus dan Upaya Melawan Corona Lain yang Jadi Kontroversi

ANTARA FOTO/REUTERS/Sergio Flores/WSJ/cf
Ilustrasi tes pencegahan corona. Kalung eucalyptus produksi Kementan menuai kontroversi. Namun sebelumnya produk lain untuk melawan corona mengalami hal serupa, apa saja?
6/7/2020, 12.46 WIB

Upaya melawan virus corona terus dilakukan sejumlah pihak, termasuk Kementerian Pertanian (Kementan) yang meluncurkan kalung berbahan tanaman eucalyptus. Sebelumnya, obat klorokuin sampai jamu disebut mampu mengobati covid-19. Namun, seluruhnya menuai kontroversi lantaran belum teruji klinis.

Rencana produksi massal kalung eucalyptus pertama kali disampaikan Mentan Syahrul Yasin Limpo pada Jumat (3/7) lalu. Menurutnya, kalung ini adalah hasil penelitian Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) bahwa eucalyptus atau kayu putih bisa menangkal virus corona. Klaimnya, dalam kontak 15 menit kalung eucalyptus bisa membunuh 42 persen virus corona.  

“Dan kami yakin, bulan depan ini sudah dicetak, diperbanyak,” katanya di Kantor Kementerian PUPR, Jakarta.

Sementara, Kepala Balitbangtan Fadjry Djufry menyatakan hasil penelitian menyatakan eucalyptus memiliki bahan utama pada cineol-1,8 yang bermanfaat sebagai antimikroba dan antivirus melalui mekanisme M Pro. M Pro adalah main protease (3CLPro) dari virus corona yang menjadi target potensial dalam menghambat virus corona.

Eucalyptus, kata Fadjry, berpotensi mengikat protein M Pro sehingga menghambat repilakasi virus corona. Hal ini karena cineol-1,8 di dalamnya dapat berinteraksi dengan transient receptor potential ion chanel di dalam saluran pernapasan.

(Baca: Pandemi Corona, Australia Tutup Perbatasan Victoria-New South Wales)

Seluruh penelitian ini, kata Fadjry, dilakukan di laboratorium Balitbangtan yang telah mendapatkan sertifikat level 3 biologi. Penelitian ini pun dilakukan para virologi berpengalaman selama puluhan tahun menangani bermacam jenis virus corona, seperti gamacorona dan betacorona.

“Setelah kami uji ternyata eucalyptus sp bisa membunuh 80-100 persen virus mulai dari avian influenza hingga virus corona,” kata Fadjry dalam keterangan tertulis yang diterima Katadata.co.id, Minggu (5/7).

Namun, Ahli Epidemologi Universitas Indonesia Syahrizal Syarif menyebut klaim tersebut tak boleh dilakukan sebelum melalui uji klinis terkait efektivitasnya menangkal corona. Ia pun meminta tanaman herbal tak diklaim sebagai antivirus corona.

“Hasil uji in vitro atau percobaan di laboratorium tidak boleh diklaim sebagai antivirus, karena itu bukan uji klinis,” katanya kepada Katadata.co.id, Minggu (5/7).

Berbeda dengan Syahrizal, Dosen Fakultas Farmasi UGM Zullies Ikawati mendukung upaya Kementan membuat kalung eucalyptus. Ia menilai produk ini cocok untuk orang yang terpapar corona, sebab biasanya mereka mengalami sesak nafas.

“Saya kira ada potensi menjadi antivirus, tapi kan untuk menjadi obat pasti ada alurnya,” katanya.

Kontroversi Klorokuin dan Jamu Covid-19

Sebelum kalung eucalyptus menuai kontroversi, obat bernama klorokuin telah lebih dulu. Presiden Jokowi pada 23 Maret lalu sempat menyebutnya mampu mengobati corona. Ia menyatakan, “di beberapa negara klorokuin digunakan, banyak pasien covid-19 sembuh dan membaik kondisinya.”

Presdien AS Donald Trump di bulan yang sama pun sempat mengumumkan Foods and Drugs Administration (FDA) AS telah menyetujui penggunaan klorokuin untuk mengobati corona. Namun, selang beberapa hari setelah pengumuman ini seorang pria berusia 68 tahun di Arizona justru meninggal setelah mengonsumsi klorokuin. Sementara istrtinya yang turut meminum obat ini mendapat perawatan intensif.

Organsiasi Kesehatan Dunia (WHO), seperti dilansir Statnews.com pada 18 Maret menyatakan klorokuin yang merupakan obat malaria masih membutuhkan uji coba lebih lanjut. Uji coba pun dilakukan WHO bersama beberapa negara seperti Argentina, Bahrain, Kanada, dan Prancis dalam proyek bernama SOLIDARITY. Namun, sampai sekarang uji coba belum menemukan titik terang klorokuin mampu menyembuhkan corona.  

Sedangkan Komisioner FDA Amerika, Dr Stephen M Hahn membantah pernyataan Trump bahwa pihaknya telah mengizinkan konsumsi bebas klorokuin untuk mengobati corona, seperti dilansir The New York Times. Hal ini karena keberhasilan klorokuin mengobati corona masih sebatas uji laboratorium, bukan uji klinis.

(Baca: Ratusan Ilmuwan Sebut Covid-19 Bisa Menyebar Melalui Udara)

Setelah klorokuin, kontroversi menimpa jamu bernama Herbavid-19 yang diluncurkan Satgas Covid-19 DPR RI untuk mengobati corona pada April lalu. Jamu ini dibagikan gratis sebanyak 3000 buah kepada pasien corona.

Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia, Inggrid Tania menyatakan, banyak dokter yang khawatir Herbavid-19 bisa menimbulkan efek samping negatif pada pasien corona.

“Kalau diberikan ke pasien merkea takut pertanggung jawaban kalau sampai terjadi sesuatu,” kata Ingrid, Senin (27/4).

Kekhawatiran ini lantaran belum ada uji klinis dan izin dari BPOM untuk Herbavid-19. Namun, BPOM akhirnya mengeluarkan izin pada 30 April dengan nomor TR20364321 sebagai obat tradisional yang memiliki takaran 170 ml.

Sementara, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu Dwi Ranny Pertiwi memprotes impor Herbavid-19 dari Tiongkok. Padahal menurutnya, seluruh bahan baku jamu tersebut terdapat di dalam negeri dan bisa dibuat oleh pengusaha jamu lokal.

“Jadi kami keberatan ternyata kami dari jamu Indonesia tidak dianggap Satgas DPR ini,” katanya, (27/4).

(Baca: Ahli Epidemologi: Kalung Eucalyptus Tak Bisa Diklaim Antivirus Corona)