Bank Indonesia (BI) telah mengantisipasi dampak dari kebijakan berbagi beban (burden sharing) biaya pemulihan ekonomi nasional imbas pandemi virus corona atau Covid-19.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menjelaskan, salah satu dampak dari kebijakan burden sharing adalah inflasi. Ia memperkirakan, inflasi akan naik seiring dengan pemulihan, dan peningkatan aktivitas ekonomi tahun depan.
"BI bersama dengan pemerintah akan mengantisipasi laju inflasi tahun depan. Sementara, untuk tahun ini diperkirakan inflasi masih terjaga," kata Destry dalam sebuah acara diskusi daring, Senin (20/7).
Menurutnya, jenis inflasi yang akan sulit dikendalikan adalah inflasi komponen bergejolak (volatile food), yakni inflasi yang dipengaruhi oleh lonjakan kelompok bahan pangan. Namun, Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Daerah juga akan bersinergi memitigasi inflasi tersebut.
Selain itu, ada juga risiko peningkatan biaya operasi moneter seiring dengan adanya burden sharing. Namun, hal ini juga telah dipertimbangkan dengan memperhitungkan dampak internal, serta ukuran BI dalam masuk ke pasar.
Kemudian, BI juga mengantisipasi adanya risiko dari sisi nilai tukar rupiah, yang banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal. Untuk memitigasi pelemahan nilai tukar, bank sentral akan memperdalam pasar keuangan melalui instrumen seperti Domestic Non Delivery Forward (DNDF) dan lindung nilai atau hedging.
"Kami akan mendorong market menggunakan instrumen DNDF dan hedging untuk menghindari risiko pelemahan rupiah," ujarnya.
Sementara itu, Mantan Menteri Keuangan 2013-2014 Chatib Basri mengatakan, burden sharing telah diterima oleh pasar. Namun, ada hal yang harus diperhatikan oleh BI dan pemerintah lantaran ada kegelisahan oleh pelaku pasar.
"Kalau bunga diturunkan, beban burden sharing BI kecil. Tapi mengorbankan exchange rate itu membuat market jittery atau gelisah," kata Chatib.
Selain itu, pelaku pasar mengkhawatirkan kasus positif covid-19 di Indonesia yang saat ini lebih tinggi dari Tiongkok, namun dengan jumlah tes yang lebih rendah.
Ia mencatat, kasus positif virus corona di Tiongkok mencapai 83.000 orang dengan jumlah tes sekitar 90 juta orang. Sementara, Indonesia memiliki jumlah kasus sekitar 84.000 orang, dengan jumlah tes sekitar 697.000 orang.
"Kekhawatiran soal makin seriusnya kasus Covid-19 di Indonesia, akan membuat pasar makin gelisah," ujarnya.