Bongkar Pasang Struktur BIN dan Operasi Khususnya di Era Orde Baru

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.
Ilustrasi. Badan Intelijen Negara (BIN) tak lagi berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, tapi langsung di bawah Presiden RI.
Penulis: Sorta Tobing
20/7/2020, 18.17 WIB

Pada awal 1952, Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang menurunkan lembaga intelijen menjadi Badan Informasi Staf Angkatan Perang atau BISAP. Di tahun tersebut, Indonesia menerima tawaran pelatihan dari lembaga intelijen Amerika Serikat alias CIA untuk para calon intel profesional di Pulau Saipan, Filipina.

Presiden Sukarno kemudian membentuk Badan Koordinasi Intelijen pada 5 Desember 1958. Tujuannya, untuk menyatukan seluruh lembaga intelijen di angkatan dan kepolisian agar menjadi solid. Kolonet Laut Pirngadi ditujuk sebagai kepala BKI.

Setahun kemudian, BKI berganti nama menjadi Badan Pusat Intelijen (BPI) dan dikepalai oleh Soebandrio pada 1959. Di era 1960-an terjadi perang ideologi komunis dan non-komunis di tubuh militer, termasuk intelijen.

Pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, Soebandrio divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa. Melansir dari Historia.id, pengadilan tak memiliki bukti keterlibatannya dalam gerakan tersebut, maka ia divonis bersalah karena dianggap subversif terkait ucapannya membalas teror dengan kontra-teror.

Tapi vonis ini berubah karena Soebandrio memiliki rekam jejak sebagai duta besar Indonesia pertama untuk Inggris. Reputasi itu dan juga mantan Menteri Luar Negeri menghindarinya dari senapan regu tembak. Presiden AS Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth mengintervensi proses hukum Soebandrio dan mengubah vonisnya menjadi penjara seumur hidup.

Intelijen dalam Lingkaran Soeharto

Setelah peristiwa 1965, Soeharto memimpin Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib. Setiap daerah atau komando daerah militer (Kodam) lalu membentuk satuan tugas intelijen (STI).

Ketika menjabat Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan pada 1966, Soeharto mendirikan Komando Intelijen Negara atau KIN yang dipimpin Brigjen Yoga Sugomo. Kepala KIN bertanggung jawab langsung kepada Soeharto.

Sebagai lembaga strategis, BPI kemudian dilebur ke dalam KIN dan memiliki Operasi Khusus atau Opsus di bawah komando Letnan Kolomel Ali Moertopo. Asistennya ketika itu adalah Leonardus Benyamin Moerdani dan Aloysius Sugiyanto.

Kurang dari setahun, pada 22 Mei 1967 Soeharto yang telah menjabat presiden RI mengeluarkan keputusan untuk mengubah KIN menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara atau BAKIN. Kepala lembaga ini adalah Mayor Jenderal Soedirgo.

Mulai 1970 terjadi reorganisasi BAKIN dengan tambahan Deputi III Pos Opsus di bawah Ali Moertopo. Sebagai orang yang berada di lingkaran dalam Soeharto, Opsus dipandang paling prestisius di BAKIN. Divisi ini terlibat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat dan kelahiran mesin politik Orde Baru, yaitu Golongan Karya (Golkar).

Tirto.id menuliskan, meskipun bukan kepala BAKIN, Ali Moertopo bisa berbuat lebih ketimbang jenderal-jenderal lainnya. Opsus yang ia pimpin sangat dominan, baik urusan luar dan dalam negeri.

Soeharto mempercayakan penggalangan dukungan politik kepada Moertopo. Ia menyederhanakan partai politik dari 10 partai menjadi tiga, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golkar pada 1971.

Di tahun yang sama, ia mengambil perang penting bagi kemenangan Golkar, melalui Badan Pengendali Pemilihan Umum atau Bappilu. Sejak itu, selama Orde Baru berkuasa, Golkar selalu memenangkan pemilu di Indonesia.

LB Moerdani kemudian memperluas kegiatan intelijen menjadi Badan Intelijen Strategis atau Bais pada 1983. Hal ini membuat BAKIN menjadi sebuah direktorat kontra-subversi Orde Baru.

Satu dekade kemudian Soeharto mencopot LB Moerdani sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Mandat BAIS berkurang dan namanya diganti menjadi Badan Intelijen ABRI atau BIA. Di era Reformasi, tepatnya pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengubah BAKIN menjadi BIN.

Penyumbang Bahan: Muhamad Arfan Septiawan (magang)

Halaman:
Reporter: Ekarina