Pemerintah tengah berupaya untuk menekan masalah stunting (kerdil) pada balita. Deputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak Lenny N. Rosalin menyebut, masalah stunting perlu diikuti dengan perbaikan regulasi, salah satunya batas maksimum cuti hamil.
Menurutnya, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan diperlukan untuk mencegah stunting pada anak. Pasalnya, hal ini dinilai bisa memaksimalkan asupan gizi pada anak, khususnya dalam pemberian ASI ekslusif bagi ibu yang bekerja.
Dia pun menyebut kerap dijumpai kasus, para ibu yang bekerja hanya memberikan ASI secara maksimal pada bayinya selama tiga bulan saja lantaran jatah cutinya terbatas.
"Jadi ini masalah beyond health, ada aturan yang harus kita benahi. Kalau kita berani, seperti di luar negeri. Beri cuti melahirkan sampai setahun," kata dia dalam Webinar Foodbank of Indonesia (FOI) bertajuk Mengatasi Kelaparan Balita di Indonesia, Selasa (21/7).
Menurutnya, aturan cuti melahirkan di negara maju bisa mencapai hingga setahun. Ini artinya, cuti diberikan selama enam bulan sebelum melahirkan dan enam bulan setelah melahirkan. Dengan begitu, ibu yang bekerja dapat memberikan ASI ekslusif selama enam bulan setelah melahirkan.
Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 82 ayat (1) menyebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Oleh karena itu, Lenny mengatakan penanganan stunting memerlukan advokasi dari berbagai pihak. Selain itu, perlu sosialisasi secara berkala kepada orang tua untuk memberikan ASI ekslusif selama enam bulan.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia pada 2017, persentase bayi baru lahir mendapatkan ASI eksklusif secara nasional mencapai 65,16%. Rata-rata pemberian ASI eksklusif hanya selama tiga bulan.
Kemudian, 9 dari 10 ibu pernah menyusui, namun hanya 51% bayi yang memdapatkan ASI eksklusif. Sementara, 44% bayi lainnya mendapatkan asupan lain saat lahir.
Selain ASI, ia mengatakan ada masalah lainnya yaitu kekurangan kalori pada balita. Indeks Perlindungan Anak tahun 2019 mencatat, sebanyak 9,87% anak berusia 0-17 tahun konsumsi kalorinya kurang dari 1.400 kkal.
Data Riskesdas tahun 2018 mencatat, sebanyak 30,8% balita di Indoensia mengalami stunting, 17,7% balita mengalami kurang gizi, dan 10,2% balita kurus.
Selain masalah regulasi, Pendiri FOI Hendro Utomo mengatakan, kasus kelaparan pada balita masih banyak terjadi di wilayah penghasil pangan, seperti Cianjur, Brebes, Subang, dan Grobogan. Hal ini disebabkan karena minimnya edukasi.
Alhasil, balita kerap diberikan makanan sesuai dengan yang diinginkan orang tua, bukan yang dibutuhkan.
Selain itu, membeli makanan di pedesaan dinilai menjadi status sosial. Namun, makanan yang dibeli tersebut belum tentu memiliki gizi yang baik. "Bisa membeli makanan itu menjadi sebuah status," ujar dia.
Dosen Antropologi Universitas Indonesia Dian Sulistiawati mengatakan, persoalan stunting dan kekurangan gizi perlu diatasi dengan menguatkan pemberdayaan keluarga. Hal ini dilakukan dengan memberikan pengetahuan terkait stunting pada anak secara tepat.
"Selain itu perlu sinergi berbagai pihak dari lintas sektor," katanya.
Penulis/ Reporter: Rizky Alika