Perbaikan Regulasi hingga Cuti Melahirkan Bisa Bantu Atasi Stunting

ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto
Petugas Posyandu mengukur tinggi badan balita sebelum pemberian vitamin di Posyandu Bougenvile, Ngawi, Jawa Timur, Selasa (25/2/2020). Pemberian zat gizi mikro dari Kementerian Kesehatan berupa vitamin A bagi balita dan suplemen penambah darah bagi ibu hamil tersebut merupakan upaya pencegahan stunting sekaligus menurunkan angka kematian ibu/anak.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Ekarina
21/7/2020, 20.29 WIB

Selain ASI, ia mengatakan ada masalah lainnya yaitu kekurangan kalori pada balita. Indeks Perlindungan Anak tahun 2019 mencatat, sebanyak 9,87% anak berusia 0-17 tahun konsumsi kalorinya kurang dari 1.400 kkal.

Data Riskesdas tahun 2018 mencatat, sebanyak 30,8% balita di Indoensia mengalami stunting, 17,7% balita mengalami kurang gizi, dan 10,2% balita kurus.

Selain masalah regulasi, Pendiri FOI Hendro Utomo mengatakan, kasus kelaparan pada balita masih banyak terjadi di wilayah penghasil pangan, seperti Cianjur, Brebes, Subang, dan Grobogan. Hal ini disebabkan karena minimnya edukasi.

Alhasil, balita kerap diberikan makanan sesuai dengan yang diinginkan orang tua, bukan yang dibutuhkan.

Selain itu, membeli makanan di pedesaan dinilai menjadi status sosial. Namun, makanan yang dibeli tersebut belum tentu memiliki gizi yang baik. "Bisa membeli makanan itu menjadi sebuah status," ujar dia.

Dosen Antropologi Universitas Indonesia Dian Sulistiawati mengatakan, persoalan stunting dan kekurangan gizi perlu diatasi dengan menguatkan pemberdayaan keluarga. Hal ini dilakukan dengan memberikan pengetahuan terkait stunting pada anak secara tepat.

"Selain itu perlu sinergi berbagai pihak dari lintas sektor," katanya.

Penulis/ Reporter: Rizky Alika

Halaman:
Reporter: Rizky Alika