Yang Perlu Disiapkan Jika Indonesia Masuk Jurang Resesi

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww.
Kendaraan melaju di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (11/6/2020). Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Reza Yamora Siregar memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal II 2020 akan anjlok hingga minus 3 - 4 persen dampak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan di berbagai daerah sejak beberapa bulan terakhir.
Penulis: Pingit Aria
6/8/2020, 19.46 WIB

Badan Pusat Statistik mencatat perekonomian Indonesia pada kuartal II 2020 terkontraksi sebesar 5,32% secara tahunan atau year on year.  Realisasi ini lebih buruk dibandingkan prediksi pemerintah maupun realisasi kuartal I 2020 yang masih mencatatkan pertumbuhan sebesar 2,97%. 

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, produk domestik bruto atas dasar harga konstan  pada kuartal II  2020 sebesar Rp 2.5889,6 triliun, sedangkan PDB atas dasar harga konstan sebesar Rp 3.6887,6 triliun.

"Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2020 mengalami kontraksi 5,32% secara tahunan atau yoy. Dibandingkan kuartal I, pertumbuhan ekonomi minus  4,92%," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (5/8). 

Jika tidak diantisipasi dengan baik, kondisi itu bisa menyebabkan Indonesia terperosok ke jurang resesi ekonomi.

Apa itu berarti Indonesia sudah masuk ke jurang resesi?

Dalam ilmu ekonomi, negara bisa disebut mengalami resesi apabila ekonominya minus dalam dua kuartal berturut-turut. Secara kuartalan Indonesia sebenarnya sudah minus sejak kuartal IV 2019 lalu hingga kuartal II 2020.

Jika dilihat secara kuartalan, ekonomi Indonesia minus 1,74% pada kuartal IV 2019. Kemudian, ekonomi kembali minus 2,41% pada kuartal I 2020 dan minus 4,19% pada kuartal II 2020.

Bagaimanapun, bukan berarti Indonesia saat ini sudah masuk ke jurang resesi. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan perhitungan resesi merujuk pada pertumbuhan ekonomi secara tahunan, bukan kuartalan.

Secara tahunan, Indonesia baru tercatat minus pada kuartal II 2020. "Biasanya dalam melihat resesi itu dari year on year (tahunan) untuk dua kuartal berturut-turut. Jadi dalam hal ini, kuartal II 2020 pertama kali ekonomi Indonesia mengalami kontraksi," kata Sri Mulyani dalam video conference, Kamis (6/8).

Artinya, Indonesia baru bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonomi kembali minus pada periode Juli-September 2020. Dengan kata lain, kuncinya ada pada kuartal III 2020 nanti.

"Kalau kuartal III 2020 kami bisa hindarkan (dari pertumbuhan negatif), maka Indonesia Insya Allah secara teknikal tidak mengalami resesi," ujar Sri Mulyani.

Negara Lain Sudah Resesi

Indonesia terbilang lebih beruntung. Paling tidak, sampai saat ini ekonomi belum mengalami resesi. Sedangkan, beberapa negara lain sudah masuk ke jurang resesi lebih dulu akibat pandemi Covid-19.

Singapura salah satunya. Ekonomi negara tersebut terkontraksi pada kuartal I 2020 sebesar 0,3% dan kembali kontraksi pada kuartal II 2020 sebesar 12,6%. Begitu juga dengan Hong Kong yang ekonominya minus 9,1% pada kuartal I 2020 dan kembali minus pada kuartal II 2020 sebesar 9%.

Yang terbaru, Filipina hari ini mengumumkan resesi setelah pertumbuhan ekonominya minus 16,5% pada kuartal II 2020 dan minus 0,7% pada kuartal I 2020. Hal yang sama terjadi pada Uni Eropa yang mencatatkan minus selama dua kuartal berturut-turut. Rinciannya, pada kuartal I 2020 ekonominya minus 2,5% dan kuartal II 2020 minus 14,4%.

Sebaliknya, Tiongkok berhasil keluar dari ancaman resesi. Pada kuartal I 2020, ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut terkontraksi 6,8%. Namun, berhasil membalikkan keadaan dan tumbuh positif pada kuartal II 2020 sebesar 3,2%.

Potensi Resesi

Walaupun penentuan resesi atau tidak masih dua bulan lagi, ada baiknya masyarakat bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Apalagi, beberapa pengamat melihat Indonesia mustahil terhindar dari resesi.

Bagaimana tidak, seluruh komponen pengeluaran mencatatkan minus pada kuartal kedua. Begitu juga dengan mayoritas lapangan usaha negatif meski ada momen lebaran yang dalam kondisi normal selalu bisa diharapkan mengerek pertumbuhan.

Untuk komponen berdasarkan pengeluaran terlihat tingkat konsumsi masyarakat minus 5,51%. Kemudian, investasi minus 8,61%, ekspor minus 11,66%, impor minus 16,96%, konsumsi pemerintah 6,9%, dan konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) minus 7,76%.

Lalu dari lapangan usaha, sektor transportasi dan pergudangan minus hingga 30,84% karena pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Diikuti oleh sektor akomodasi dan makan minum yang minus 22,02%, jasa lainnya minus 12,6%, dan jasa perusahaan minus 12,09%.

Selanjutnya, perdagangan minus 7,57%, konstruksi minus 5,39%, administrasi pemerintahan negatif 3,22%, industri negatif 6,19%, serta pengadaan listrik dan gas minus 5,46%.

Hanya tujuh sektor yang mampu tumbuh pada kuartal II 2020. Sektor itu adalah pertanian yang tumbuh 2,19%, informatika dan telekomunikasi tumbuh 10,88%, jasa keuangan tumbuh 1,03%, jasa pendidikan tumbuh 1,21%, real estate tumbuh 2,3%, jasa kesehatan tumbuh 3,71%, dan pengadaan air tumbuh 4,56%.

Lalu apa yang harus disiapkan kalau ekonomi mengalami resesi?

Halaman:
Reporter: Antara