Pelaku usaha dan akademisi mendorong pemerintah untuk memasukkan komoditas susu dalam kategori bahan pokok penting (bapokting). Hal ini selain untuk meningkatkan konsumsi susu, juga untuk mengatasi masalah stunting hingga memperbaiki harga jual susu produksi peternak rakyat.
Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam paparannya menjelaskan, tingkat konsumsi susu dan protein hewani masyarakat Indonesia masih cukup rendah di antara negara lain di ASEAN.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017 mencatat, rata-rata konsumsi Indonesia masih mencapai 16,5 liter per tahun, jauh di bawah Brunei Darussalam di posisi pertama dengan 129,1 liter, Malaysia 50,9 liter per tahun dan Singapura 46,1 liter per tahun. Indonesia juga masih berada di bawah Vietnam dan Filipina dengan 20,1 liter dan 17,8 liter per tahun.
Konsumsi susu segar dalam negeri (SSDN), mayoritas berasal dari sapi. Namun ada pula dari ternak perah lainnya (kambing, kuda, kerbau).
Permintaan konsumsi susu sapi perah diperkirakan naik 11,73%, sedangkan pertumbuhan produksi SSDN hampir selalu stagnan di kisaran 6%. Alhasil, untuk menutup peningkatan permintaan didapat dari impor.
"Impor susu ini sebenarnya tak masalah, selama diimbangi dengan ekspor. Artinya susu digunakan sebagai bahan baku produk untuk kemudian di ekspor. Namun, dari data yang ada, impor kecenderungannya untuk memenuhi konsumsi," kata Epi dalam webinar Pusat Kajian Pertanian dan Advokasi, Senin (31/8).
Berdasarkan proyeksi kebutuhan dengan bahan baku industri pada 2024 diperkirakan mencapai 6,77 miliar liter. Sedangka produksi susu sapi dalam negeri (SSDN) hanya mencapai 1,88 miliar liter. Alhasil, ada selisih 5,58 miliar liter susu yang didapat dari impor.
"Perhitungan menunjukkan,angka konsumsi, yang juga berarti bahan baku untuk industri pengolahan susu (IPS) belum dapat dipenuhi dari dalam negeri sekalipun SSDN berasal dari semua ternak perah," ujarnya.
Padahal, saat ini ada sekitar 143 ribu peternak sapi perah rakyat. Tata niaga persusuan pun melibatkan banyak pemain dan memberikan kesempatan penciptaan lapangan kerja serta penghasilan harian.
Demikian pula di hilir, yang mana gaya hidup masyarakat telah mendorong pemanfaatan susu segar kini bisa diolah untuk berbagai makanan minuman.
Dari aspek gizi, di Indonesia 3 dari 10 anak di bawah 5 tahun mengalami stunting. Lalu 2 juta anak dibawah 5 tahun malnutrisi dan 20% mengalami obesitas. Sehingga, protein susu menjadi kunci mengatasi stunting dan mal nutrisi. Sebab, 90% susu terserap oleh tubuh di usus halus (biological value).
"Jika pemerintah serius untuk tingkatkan SDM, harusnya kembangkan produksi dan tingkatkan konsumsi susu. Kalau bisa jadi bahan pokok penting. Serius alokasikan anggaran," katanya.
Saat ini, ketentuan tentang Bahan Pokok Penting diatur dalam Undang-undang nomor 71 tahun 2015. Menurutnya, susu telah masuk kategori bapokting lantaran telah memenuhi aspek kandungan gizi tinggi untuk kebutuhan manusia. Oleh sebab itu komoditas ini akan coba terus didorong masuk ke dalam komoditas pokok.
Perbaikan Harga
Hal senada juga diugkap Ketua Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KSPBU), Dedi Setiadi. Pihaknya mendorong adanya regulasi pemerintah untuk menjadikan susu sebagai barang pokok penting. untuk meningkatkan minat usaha peternak dalam peternakan sapi perah dan perbaikan harga pokok.
Saat ini, koperasi telah memiliki harga yang sudah disepakati dengan peternak dan industri. Penetapan harga disesuaikan dengan kualitas produk.
“Koperasi kami sudah punya kesepakatan harga dengan industri. Apakah produk layak atau tidak, ketika harga tinggi harus dikejar dengan kualitas tinggi. Saat kualitas rendah, harga jual tidak cukup untuk biaya operasional peternak," ujarnya.
Menurutnya, harga terendah di industri pengolahan susu (IPS) menurutnya saat ini Rp6.000 per liter dan tertinggi Rp7.100.
"Jika HPP Rp5.000 maka peternak tidak dapat apa-apa,” kata Dedi.
Lain halnya yang diungkapkan akademisi Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Suhubby. Menurutnya, permasalahan yang dihadapi produksi susu di Indonesia, tidak hanya sebatas pada minimnya tingkat konsumsi yang dapat memengaruhi kualitas SDM.
Indonesia juga belum memiliki payung hukum di Indonesia untuk menaungi peternak sehingga belum ditetapkan Harga Pokok Penjualan (HPP) untuk produk susu.
“Indonesia sudah memiliki blue print Persusuan Indonesia untuk 2013-2025. Kalau mau berkembang, harus di bawa ke tingkat presiden. Indonesia tidak punya politik anggaran yang mengarahkan ke persusuan nasional," katanya.
Kondisi ini pun menurutnya berbeda dengan Filipina yang memiliki APBN untuk mendatangkan kerbau perah.
Oleh sebab itu, menurut dia pemerintah seharusnya memberikan peran ke masing-masing stakeholder dan perbaikan daging dan susu.
Reporter/Penyumbang Bahan: Agatha Lintang (Magang)