Cegah Resesi Ekonomi, Pemerintah Butuh Dana Rp 180 T per Kuartal

Youtube/Sekretariat Presiden
Ketua Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Nasional Budi Gunadi Sadikin memberikan paparan terkait progres program pemulihan ekonomi nasional pada Jumat (7/8). Budi menyebut Indonesia membutuhkan dana Rp 180 triliun untuk memulihkan ekonomi yang terkontraksi sekitar 5% setiap kuartalnya.
3/9/2020, 07.16 WIB

Pemerintah memerlukan dana sekitar Rp 180-200 triliun setiap kuartalnya. Dana tersebut diperlukan agar pertumbuhan ekonomi tak lagi negatif seperti kuartal II 2020 yang terkontraksi 5,32% secara tahunan.

Ketua Satuan Tugas (Satgas) Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional Budi Gunadi Sadikin mengatakan proyeksi kebutuhan dana tersebut diperoleh dari perhitungan besaran Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk diketahui, PDB Indonesia sekitar US$ 1 triliun atau Rp 14.500 triliun per tahun.

Jika dibagi untuk empat kuartal, total PDB Indonesia sebesar Rp 3.600 triliun setiap tiga bulan. Kerugian Indonesia dapat diukur dengan membagi pertumbuhan ekonomi yang negatif dengan nilai PDB dalam satu kuartal.

Apabila pertumbuhan ekonomi dalam satu kuartal -5,32%, maka Indonesia akan kehilangan sekitar Rp 180 triliun. "Jadi kalau kita bisa menyalurkan dana Rp 180 triliun setiap kuartal, itu sesuai dengan pertumbuhan PDB yang -5%. Jadi itu target yang harus kita berikan," kata Budi di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (2/9).

Lebih lanjut, Budi menyebut pemerintah tak bisa bekerja sendirian dalam memulihkan ekonomi nasional yang terdampak pandemi Covid-19. Menurutnya, upaya pemulihan ekonomi terlalu berat apabila hanya dilaksanakan oleh pemerintah.

Oleh karena itu, dia mengajak semua pihak untuk membantu memulihkan ekonomi Indonesia. Menurut dia, harus ada gerakan masyarakat yang memanfaatkan seluruh modal sosial untuk memulihkan ekonomi nasional.

"Kita bisa mencapainya apabila kita bekerja bersama-sama," kata Budi.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga tahun ini minus 2%. Bila itu terjadi, RI berpotensi masuk ke jurang resesi ekonomi.

"Outlook (kuartal ketiga) antara 0% hingga negatif 2%," kata Sri Mulyani dalam konferensi video, Selasa (25/8).

Sri Mulyani mengatakan meski terdapat beberapa indikator ekonomi yang sudah positif,  masih sulit melihat adanya perbaikan data ekonomi. Dia menilai aktivitas ekonomi pada Juli 2020 masih terpuruk.

"Ternyata masih ada suatu risiko yang nyata," ujarnya.

Dengan demikian, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan pada 2020 akan berada di antara minus 1,1% hingga 0,2%. Ia berharap, konsumsi dan investasi yang merupakan kunci utama perekonomian bisa terus meningkat.

Jika keduanya masih dalam zona negatif, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menilai percuma jika pemerintah terus menggenjot belanja. "Akan sangat sulit tahun ini masuk zona netral 0%," kata dia.

Padahal Sri Mulyani sempat berharap pertumbuhan ekonomi di kuartal III dan IV bisa berada di atas 0% agar Indonesia terhindar dari resesi. "Technically kita bisa resesi kalau (pertumbuhan ekonomi) kuartal II dan kuartal III minus. Jadi kita coba kuartal III di atas 0 persen," katanya dalam rapat bersama Komisi XI di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin, 22 Juni 2020.

Badan Pusat Statistik mencatat perekonomian Indonesia pada kuartal II 2020 terkontraksi atau negatif hingga mencapai 5,32% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, lebih buruk dari proyeksi pemerintah negatif sebesar 4,32%. Ekonomi juga tercatat negatif 4,19% dibandingkan kuartal I 2020 dan minus 1,62% pada sepanjang semester pertama tahun ini dibandingkan semester I 2019.

Kinerja perekonomian yang buruk terutama disebabkan oleh anjloknya konsumsi rumah tangga terutama akibat pembatasan sosial berskala besar untuk mencegah penyebaran pandemi corona. Konsumsi rumah tangga yang berkontribusi hampir setengah perekonomian Indonesia pada kuartal II 2020 tercatat negatif 6,51% dibandingkan kuartal sebelumnya atau minus 5,51% dibandingkan kuartal I 2020.

Reporter: Dimas Jarot Bayu