Panggil Sofyan Djalil, Jokowi Akui Ada Masalah Lahan di Food Estate

ANTARA FOTO/Makna Zaezar/aww.
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kanan), Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kedua kanan), Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko (kedua kiri) dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan saat meninjau kesiapan lahan pertanian yang akan dijadikan pengembangan 'food estate' di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020).
Penulis: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria
23/9/2020, 12.42 WIB

Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah terus mendorong pembangunan food estate untuk menjaga ketersediaan pangan. Namun, Presiden Joko Widodo mengakui bahwa masih ada masalah terkait dengan kepemilikan lahan di lokasi yang akan dijadikan lumbung pangan itu.

Jokowi pun meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil menyelesaikan masalah pembebasan lahan di lumbung pangan.

"Masih terdapat beberapa masalah yang perlu segera diselesaikan yaitu yang berkaitan dengan kepemilikan lahan di area food estate," kata Jokowi dalam rapat terbatas Lanjutan Pembahasan Food Estate di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/9).

Pemerintah, menurut Jokowi, telah menyiapkan dua lokasi lokasi, yaitu di Kalimantan Tengah kemudian di Sumatra Utara. Di Kalimantan Tengah, areanya meliputi Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, kemudian Sumatra Utara pada Kabupaten Humbang Hasundutan.

“Ini yang ingin kita prioritaskan terlebih dahulu,” kata Jokowi dalam rapat terbatas, Rabu (23/9).

Dalam kesempatan tersebut, Jokowi juga menilai pentingnya perumusan rencana induk lumbung pangan. Dia pun meminta rencana induk tersebut segera diselesaikan.

Ia mencatat, daerah irigasi di Kalimantan Tengah mencapai 148.000 hektare akan digunakan untuk menanam padi. Sementara, lahan belum teririgasi seluas 622.000 hektare yang akan dikembangkan untuk tanaman singkong, jagung, dan peternakan.

Selain itu, Jokowi juga meminta jajarannya untuk menyelesaikan infrastruktur pendukung akses jalan. Dengan demikian, mesin pertanian modern yang berukuran besar tidak mengalami kesulitan dalam mengakses lumbung pangan.

Kemudian, ia juga meminta pengembangan lumbung pangan dilakukan berdasarkan data sains guna memastikan komoditas yang ditanam sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lapangan. Tak hanya itu, Jokowi juga meminta adanya kalkulasi secara matang terkait pihak yang mengolah lumbung pangan dan memperhitungkan akses pembiayaannya.

"Sehingga nanti kalau sudah benar model bisnis ini akan kita gunakan di provinsi-provinsi yang lainnya," kata dia.

Jokowi menambahkan, lumbung pangan disiapkan untuk mengantisipasi kondisi krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Peringatan krisis pangan dunia juga telah disampaikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).

Di sisi lain, lumbung pangan berfungsi untuk mengantisipasi perubahan iklim. Kemudian, lumbung pangan dibangun guna mengurangi ketergantungan pada impor pangan.

Selain di kedua lokasi tersebut, pemerintah juga telah mengerjakan proyek lumbung pangan di wilayah lainnya, yaitu Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Selatan. "Tetapi ini akan kami diskusikan setelah Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara sudah bisa berjalan," ujar Jokowi.

Peringatan Ahli

Bagaimanapun, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menilai, pemerintah tidak perlu memperluas lumbung pangan pada tahun depan dan lebih baik berfokus pada intensifikasi lahan.

"Tidak perlu (mengembangkan lumbung pangan). Itu buang-buang uang," kata Dwi saat dihubungi Katadata, beberapa waktu lalu.

Dia juga mengungkapkan perluasan lumbung pangan tersebut kemungkinan akan gagal karena penggunaan lahan yang tidak sesuai. Oleh karena itu, anggaran perluasan lumbung pangan lebih baik digunakan untuk intensifikasi lahan yang sudah ada.

Dengan upaya intensifikasi yang tepat, produksi padi dapat meningkat sebesar 20-25% dari produksi saat ini. Sebagai informasi, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan produksi padi pada 2019 sebesar 54,60 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau mengalami penurunan sebanyak 4,60 juta ton atau 7,76% dibandingkan 2018.

Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) sekaligus Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan Khudori menyatakan, pemerintah harus hati-hati dalam mempertimbangkan kaidah ilmiah dalam proyek food estate. Diperlukan juga aspek sosial budaya dan keberlanjutan lingkungan.

Hal tersebut pentiing lantaran pembangunan proyek lumbung pangan sejak tahun 1970 tidak pernah berhasil. Dari kegagalan tersebut, pemerintah perlu berhati-hati agar tidak mengulangi kesalahan sebelumnya.

Khudori pun meminta pemerintah memastikan komoditas yang ditanam cocok dengan kondisi lahan lumbung pangan tersebut. Sebab, lahan lokasi food estate mempunyai keterbatasan, baik dari sisi kesuburan maupun kondisi iklim. "Keterbatasan itu menunjukkan tidak semua komoditas bisa diusahakan di situ," ujar Khudori.

Sebagaimana diketahui, lahan food estate yang akan digunakan di Kalimantan Tengah mencapai 164,6 ribu hektare. Rinciannya, 85,5 ribu hektare berasal dari lahan yang sudah berproduksi setiap tahun (intensifikasi) dan 79,1 ribu hektare masih perlu pengembangan irigasi (ekstensifikasi).

Sementara, proyek lumbung pangan di Humbang Hasundutan sekitar 30.000 hektare untuk dikelola hingga tiga tahun ke depan. Untuk tahun ini, pengerjaan dimulai dari klaster terpadu seluas 1.000 hektar sebagai percontohan nasional. Rencananya, ada tiga komoditi yang ditanam di lumbung pangan Humbang Hasundutan.

Reporter: Rizky Alika