Survei BPS: Protokol Kesehatan di Angkot dan Bus Paling Rendah

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Pengemudi ojek online menggunakan pembatas mengangkut penumpang di Shalter Kawasan Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, Senin (8/6/2020). Pemerintah telah memperbolehkan ojek online mengangkut penumpang per tangga 8 Juni 2020 pada masa Transisi Fase I.
Penulis: Pingit Aria
29/9/2020, 09.03 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil survei terkait perilaku masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Berdasarkan survei yang melibatkan lebih dari 90 ribu responden tersebut, 13,49% masih menggunakan angkutan umum selama satu bulan terakhir.

"Kalau kita lihat, yang paling banyak di sana, 23% adalah angkot, lalu disusul ojol, taksi online, bus, KRL, dan MRT. Bervariasi," ucap Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BNPB, Jakarta, Senin (28/9).

Dari seluruh transportasi umum tersebut, menurut Suhariyanto, penerapan protokol kesehatan di angkot dan mikrolet masih rendah. Tercatat, hanya 43% angkot atau mikrolet yang memungkinkan penumpang jaga jarak dalam perjalanan.

"Ini bisa disadari bahwa ruang di angkot ini sangat terbatas, kemungkinan mereka mengalami kesulitan menjaga jarak," lanjutnya.

Sebagai perbandingan, 49,88% bus dan bus mikro telah menyesuaikan kapasitas penumpang sehingga protokol kesehatan bisa diadopsi dengan lebih baik. Begitu juga 69,78% penumpang kereta, termasuk KRL menyatakan cukup leluasa menjaga jarak di dalam gerbong.

Selain itu, menurut Suhariyanto, kesadaran pengemudi bus dan angkot dalam mengenakan masker juga paling rendah dibandingkan moda angkutan lain. Kemudian untuk di angkot dan bus ini baru 59% pengemudi tertib menggunakan masker. “Nampaknya perlu digalakkan lagi mereka harus pakai masker," ujar Suhariyanto.

Kondisi tersebut berkebalikan dengan penumpang yang hampir semuanya memakai masker. Begitu pula, kesadaran pengemudi ojek online dan taksi online dalam mengenakan masker sudah cukup baik. Di antara penumpang ojek online dan taksi online menyatakan 96,06% dan 98% pengemudinya telah memakai masker.

Survei BPS juga menyoroti pemasangan pembatas antara pengemudi dan penumpang di ojek online dan taksi online. "Mengenai pembatasan penumpang sudah diterapkan di ojol sekitar 40%, di taksi online masih 56%," kata Suhariyanto.

Sebelumnya, Gojek dan Grab memang mewajibkan para mitra pengemudinya untuk mematuhi protokol kesehatan, termasuk mengenakan masker. Selain itu, operasional juga disesuaikan dengan peraturan daerah, termasuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Perusahaan telah mengimplementasikan pengaturan geofencing atau perimeter virtual terkait zona Covid-19. Ini untuk memastikan layanan tidak dapat beroperasi di wilayah yang tingkat penyebaran virus coronanya tinggi.

“Kami siap mematuhi peraturan terkait penerapan kembali PSBB," kata Chief of Corporate Affairs Gojek Nila Marita kepada Katadata.co.id, Senin (14/9).

Bukan hanya transportasi online, beberapa fitur Gojek lainnya juga membantu pengusaha menjalankan bisnisnya kala pandemi. Berikut grafiknya di Databoks:

Director of Government Affairs and Strategic Collaborations Grab, Uun Ainurrofiq mengatakan, perusahaan terus memastikan mitra pengemudi menggunakan masker dan sarung tangan. Selain itu, dilakukan disinfeksi kendaraan dan tas pengiriman barang secara teratur. “Kami yakin dengan mendukung kebijakan tersebut, dapat mengurangi potensi penularan Covid-19," ujar Uun.

Survei BPS yang digelar pada 7-14 September 2020 ini melibatkan 90.976 responden yang didominasi masyarakat usia muda atau kurang dari 45 tahun. Responden survei ini terdiri dari 55% perempuan dan 44% laki-laki.

Survei ini menggunakan metodologi rancangan non-probability sampling yang merupakan kombinasi dari convenience, voluntary dan snowball sampling untuk mendapatkan respons partisipasi sebanyak-banyaknya dalam kurun waktu 1 minggu pelaksanaan survei.