Pemerintah menyampaikan alasan tak menunda Pilkada pada 9 Desember 2020 mendatang meski ditentang sejumlah pihak karena merebaknya Covid-19. Salah satu alasan adalah menghindari kekosongan kepemimpinan di daerah.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Saydiman Marto megatakan akan ada 200 kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya pada Februari 2021. Sedangkan pejabat sementara akan memiliki keterbatasan dalam mengambil kebijakan.
“Akan ada keterbatasan terkait keputusan jika bukan pejabat definitif,” kata dia dalam sebuah diskusi Pilkada, Rabu (30/9). Diskusi tersebut juga dihadiri Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum Busyro Muqoddas, serta Pelaksana harian Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Selain itu diskusi juga dihadiri sejumlah pakar baik di bidang Pemilu maupun kesehatan. Salah satu yang memberikan pernyataan adalah ahli wabah dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono.
Saydiman mengatakan alasan lainnya adalah pemilihan tanggal telah disepakati bersama dengan KPU dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka juga menyatakan telah mendengar masukan organisasi masyarakat dan lembaga non pemerintah sebagai masukan dalam menyelenggarakan Pilkada.
“Kami juga sudah antisipasi hal-hal terkait pelaksanaan dan masa tahapan kampanye,” kata Saydiman
Dia mengakui ada potensi munculnya penularan dari kampanye yang menghadirkan massa. Namun hal ini semestinya sudah bisa diatasi dengan PKPU Nomor 13 yang menjadi petunjuk penyelenggaraan Pilkada di kala pandemi.
Ilham mengatakan Pilkada pada Desember 2020 ini merupakan bagian dari tiga opsi penundaan yang dibahas KPU bersama dewan dan pemerintah. Dua lainnya adalah Maret 2021 dan September 2021. “DPR dan Pemerintah mengambil inisiatif pertama yaitu 9 Desember 2020,” katanya.
Oleh sebab itu penyelenggara Pemilu langsung meminta tambahan anggaran untuk keperluan Alat Pelindung Diri (APD) bagi petugas. Dia juga mengatakan petugas akan menerapkan standar kesehatan yang ketat dalam pelaksanaan Pilkada. “Kami diberi warning kalau tak pakai APD bisa jadi temuan untuk diberi sanksi,” kata Ilham.
Sedangkan Bambang Soesatyo mengatakan kondisi pandemi ini menimbulkan dilema dalam Pilkada. Ia juga memprediksi akan ada penurunan partisipasi pemilih karena kekhawatiran Covid-19.
Makanya dia meminta memastikan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD), ketersediaan tes Covid-19, tenaga medis, dan sarana penunjang lainnya. Bambang mengutip data Kemendagri bahwa pada Juni 2020, hanya 76 dari 270 wilayah yang menyatakan tidak perlu tambahan anggaran untuk memenuhi protokol kesehatan. "Selebihnya memerlukan tambahan dana," kata Bambang.
Meski demikian hal ini tak membuat Muhammadiyah hingga ahli menghentikan permintaan untuk menunda Pilkada. Muqoddas meminta pemerintah mengalihkan tenaga pada penanganan pandemi, alih-alih memaksakan helatan politik daerah tahun ini.
Dia juga mengatakan Muhammadiyah telah berkirim surat resmi agar tak ada pesta demokrasi akhir tahun nanti. “Tapi pemerintah belum ambil sikap. NU juga sama sikapnya tapi pemerintah tetap keukeuh,” kata Busyro.
Permintaan yang sama juga disampaikan Pandu Riono lantaran risiko penularan yang masih tinggi. Namun jika hal tersebut tak dilakukan, paling tidak pemerintah harus benar-benar mengendalikan kasus Covid-19 hingga akhir tahun jika ingin pilkada tak menjadi klaster corona. “Karena kunci memiliki pemimpin yang baik adalah Pilkada berkualitas,” kata Pandu.