Presiden Joko Widodo akhirnya buka suara setelah gelombang unjuk rasa penolakan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Ia pun menilai, demonstrasi pemolakan UU Cipta Kerja terjadi karena adanya disinformasi dan hoaks.
"Saya lihat ada unjuk rasa yang pada dasarnya dilatarbelakangi disinformasi dari UU ini dan hoaks di media sosial," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat (9/10).
Menurutnya, ada berbagai berita keliru yang telah ia temui. Sebagai contoh, ada kabar Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dihapuskan.
Dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003, ketentuan mengenai upah minimum sektoral diatur dalam pasal 89 ayat 2. Namun, pasal tersebut dihapuskan dalam draf terakhir Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tanggal 5 Oktober 2020, saat paripurna. Bagaimanapun, akan membuat aturan turunan dalam bentuk peraturan pemerintah terkait pengupahan.
Kemudian, Jokowi juga meluruskan anggapan bahwa upah minimum akan dihitung per jam. Mantan Walikota Solo itu menegaskan, informasi tersebut tidak benar. Menurutnya, upah tetap bisa dihitung berdasarkan waktu dan hasil kerja.
Kemudian, ia mendengar beredarnya kabar seluruh cuti termasuk cuti sakit, menikah, khitanan, baptis, kematian, hingga melahirkan dihapuskan tanpa ada kompensasi. "Saya tegaskan ini tidak benar. Hak cuti tetap ada dan dijamin," ujarnya.
Selain itu, Jokowi menyebutkan adanya informasi perusahaan bisa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kapanpun secara sepihak. Ia kembali meluruskan bahwa informasi tersebut keliru. Selain itu, jaminan sosial dan jaminan kesejahteraan lainnya tidak dihilangkan.
Lalu, ia juga memastikan tidak ada penghapusan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Menurutnya, industri besar tetap memerlukan studi Amdal yang ketat.
Kabar keliru lainnya, lanjut dia, UU Cipta Kerja mendorong komersialisasi pendidikan. Padahal, aturan tersebut hanya mengatur pendidikan formal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Sedangkan, perizinan pendidikan tidak diatur dalam UU sapu jagat itu. "Apalagi perizinan di pondok pesantren, itu tidak diatur dalam UU Cipta Kerja dan aturannya yang selama ini ada tetap berlaku," ujarnya.
Kemudian, ia mendengar komentar terkait keberadaan bank tanah. Jokowi menyebutkan, bank tanah diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial , pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, serta reforma agraira.
Tak hanya itu, bank tanah juga menjamin akses masyarakat pada kepemilikan tanah dan lahan. Terlebih lagi, selama ini Indonesia belum memiliki bank tanah.
Terkait informasi kewenangan pemerintah daerah, Jokowi menegaskan tidak ada upaya resentralisasi pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Selain itu, perizinan berusaha tetap dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang disusun pemerintah pusat.
Jokowi menyebutkan, penetapan tersebut bertujuan menciptakan standar pelayanan yang baik di seluruh daerah. Adapun, penetapan NSPK akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Selain itu, kewenangan perizinan untuk non perizinan berusaha tetap menjadi kewenangan pemerintah daerah sehingga tidak ada perubahan aturan. "Bahkan ada penyederhanaan, standarisasi jenis dan prosedur berusaha di daerah," ujar dia.
Kemudian, Jokowi menyebutkan proses penyusunan perizinan usaha diberikan batas waktu sehingga permohonan yang telah melewati batas tersebut akan dianggap disetujui. Hal ini dinilai penting untuk memberikan service level of agreement.
Setelah ini, pemerintah akan menyusun berbagai Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja. Jokowi menyebutkan, aturan turunan tersebut paling lambat akan diselesaikan dalam waktu tiga bulan.
Jika ada pihak yang tidak menerima aturan tersebut, Jokowi mempersilakan untuk dilakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. "Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu. Kalau tidak puas dan menolak, silakan ajukan uji materi ke MK," kata dia.
Adapun, keterangan ini disampaikan setelah Jokowi mengadakan rapat terbatas secara virtual dan tertutup dengan para menteri dan gubernur dari Istana Bogor.