Presiden Joko Widodo atau Jokowi akhirnya angkat suara terkait polemik UU Cipta Kerja. Menurut dia, aturan tersebut bakal menciptakan iklim investasi yang lebih baik dan mencegah terjadinya korupsi.
Dari sudut pandang Analis CLSA Securities Indonesia Sarina Lesmana dan Chelene Indriani, UU Cipta Kerja memang dapat meningkatkan iklim investasi. Namun, peningkatannya tak seperti yang diharapkan para investor.
Investor pun masih menanti produk hukum lanjutan dari undang-undang tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah (PP), yang ditargetkan terbit dalam satu bulan. Aturan turunannya bakal memberikan kepastian cara pemerintah menjalankan pemulihan ekonomi dan investasi melalui undang-undang tersebut.
Dari sisi ketenagakerjaan, CLSA memandang perekrutan dan jam kerja yang akan datang tidak akan terlalu kaku. Namun, rumus upah minimum menjadi tidak jelas karena rencana upah khusus untuk industri padat karya dibatalkan, sedangkan rencana aturan terpisah untuk UMKM sudah ada.
Selain itu, besaran pesangon diturunkan 21% menjadi 25 bulan. Beban pesangon bagi pemberi kerja akan dipotong sebesar 40% menjadi 19 bulan. Sedangkan sisanya sebanyak enam bulan bakal ditanggung pemerintah.
Menurut Sarina dan Chelene, hal itu bakal mendorong bisnis menjadi lebih baik. Pasalnya, pemerintah ikut menanggung beban pesangon. Di sisi lain, tenaga kerja tidak akan mendapat potongan pesangon yang terlalu besar.
Untuk sektor lainnya, CLSA menyayangkan reformasi pendidikan dihilangkan dalam aturan tersebut. Sedangkan dari segi pengadaan lahan, lembaga tersebut menilai bakal ada lebih banyak kepastian karena adanya batasan atas harga tanah dan penataan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang lebih mudah.
Lebih lanjut, CLSA memandang undang-undang tersebut sebagai hal yang positif bagi pasar, terutama jika melihat pergerakan IHSG. Meski begitu, kenyamanan pelaku pasar modal harus ditopang dengan aturan turunannya. PP yang rencananya diterbitkan pemerintah pada bulan ini bakal menunjukkan cara pemerintah mengeksekusi undang-undang yang disebut juga sebagai Omnibus Law.
Di sisi lain, CLSA menilai adanya ketidakpastian mengenai pembayaran pesangon oleh pemerintah. Menurut mereka, tidak ada kepastian mengenai cara pemerintah membayar pesangon, apakah melalui anggaran negara, dana keamanan sosial, atau lainnya.
Lebih lanjut, lembaga tersebut menilai Omnibus Law bakal mempermudah perizinan untuk sektor pertambangan, properti, semen, ritel, dan kontraktor. Selain itu, sektor transportasi, bank, rumah sakit, dan properti bakal mendapatkan keuntungan.
Perusahaan infrastrutkur seperti Jasa Marga secara tidak langsung juga mendapat keuntungan karena pembukaan lahan bisa lebih cepat. Pengaturan mengenai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) juga mempermudah dan menguntungkan para pelaku usaha, terutama yang memiliki cadangan lahan yang besar seperti Puradelta dan Surya Semesta.
Selain itu, bank yang fokus pada UMKM, seperti BRI, bakal mendapatkan keuntungan. "Meski begitu, ada dampak jengka pendek pada konsumsi dari pendapatan tenaga kerja yang lebih rendah. Hal itu bakal berpengaruh pada 43% tenaga kerja."
"Namun dalam jangka panjang, konsumsi bisa meningkat seiring penciptaan lapangan kerja," ujar Sarina dan Cherlene dalam laporan tertulis CLSA pada Rabu (7/10)
Adapun pemain kunci yang bisa mendapatkan keuntungan dari undang-undang tersebut yaitu Mandiri, BRI, Indofood CBP, Sarana Menara, Semen Indo, Jasa Marga, Ace Hardware, Ciputra Development, dan Puradelta.
Head of Equity Research Danareksa Sekuritas Helmy Kristanto juga menilai Omnibus Law sebagai upaya meningkatkan iklim investasi yang lebih kuat di Indonesia. Aturan yang meliputi 11 klaster utama itu akan menguntungkan dari segi proses investasi karena memuat kerangka peraturan yang lebih ramping.
Terutama dalam klaster izin usaha dan tenaga kerja. Sedangkan sektor konstruksi, kawasan industri, properti dan pertambangan menjadi sektor yang menerima manfaat terbesar dari UU Cipta Kerja tersebut.
Lebih lanjut, Helmy menyatakan Omnibus Law bakal menghilangkan berbagai tumpang tindih regulasi, merampingkan dan menciptakan proses yang lebih efisien, dan menghilangkan ego sektoral dengan berbagai regulasi. "Di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini, dampak dari hukum akan membutuhkan waktu untuk terwujud, namun pada akhirnya meningkat kemudahan berbisnis di Indonesia," ujar Helmy.
Dengan demikian, tren investasi diharapkan dapat membantu fase pemulihan dalam jangka menengah, melengkapi tren kenaikan konsumsi dari berbagai stimulus fiskal dan normalisasi bisnis.
Peraturan lebih lanjut di tingkat menteri, yang akan memberikan kejelasan lebih lanjut
aspek teknis dan detail bakal menjadi sama pentingnya.
Lebih lanjut, dia menyebut aturan tersebut membuka jalan bagi iklim investasi yang lebih kuat. Namun, fokus media justru kepada perubahan undang-undang ketenagakerjaan, yang mendapat perlawanan dari serikat pekerja, dengan risiko segera terjadi pemogokan tenaga kerja di daerah tertentu.
Dampak dari Omnibus Law pun menjadi kompleks. "Kami melihat bahwa perubahan dalam perhitungan upah pada umumnya akan menguntungkan semua sektor," kata Helmy.
Jika ditilik per sektor, Helmy menyebut sektor konstruksi bakal mendapatkan manfat dari penyederhanaan izin dan kemudahan pengadaan tanah yang lebih cepat. Hal itu bakal berdampak pada kemajuan pembangunan.
Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi diharapkan dapat menarik lebih banyak investor asing termasuk lembaga internasional, dan perusahaan asing, yang pada akhirnya akan mempercepat pembangunan proyek infrastruktur di Tanah Air.
Dari sektor kawasan industri, dia menilai bakal ada investasi yang lebih besar karena adanya permintaan lahan industri. Meski begitu, kemungkinan ada dampak negatif terbatas dari pengecualian perusahaan manufaktur yang berlokasi di luar kawasan industri.
Untuk sektor properti, Helmy mendapatkan keuntungan karena warga negara asing diperbolehkan memiliki apartemen. Selain itu, ada relaksasi pembangunan perumahan yang seimbang untuk pengembangan properti hunian. Dengan begitu, bakal ada lebih banyak investasi dan penciptaan lapangan kerja dalam upaya meningkatkan tingkat hunian baik di segmen perkantoran maupun residensial.
Dari sektor pertambangan, Omnibus law memberikan kepastian yang lebih besar terutama dalam jaminan perpanjangan kontrak pertambangan. Terutama bagi pemegang kontrak yang masa berlakunya hampir habis.
Sedangkan dampak bagi sektor telekomunikasi justru dianggap negatif. Helmy menyebut aturan tersebut memisahkan tanggung jawab antara layanan infrastruktur dan internet demi menghasilkan layanan internet yang lebih inovatif dan hemat biaya.
Peta jalan lebih lanjut tentang peraturan tersebut bakal menjadi sangat penting bagi sektor telekomuniasi. "Kami berharap penerapan peraturan ini menciptakan konsolidasi kekuatan dan sumber daya di sektor tersebut," ujarnya.