Pemerintah Diminta Tingkatkan Peran Puskesmas Dalam Penanganan Pandemi

ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.
Warga mengunjungi Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) Kaliwungu yang ditutup sementara operasionalnya di Kaliwungu, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (2/6/2020). Pemerintah harus meningkatkan peran puskesmas dala penanganan Covid-19.
6/11/2020, 07.10 WIB

Presiden Joko Widodo pada Mei 2020 sempat menyinggung mengenai peran puskesmas dalam penanganan pandemi corona. Dengan jumlah puskesmas yang mencapai 10.000 unit, Indonesia seharusnya bisa melaksanakan tes penelusuran kasus Covid-19 secara masif.

Namun, pemerintah hanya fokus pada peningkatan kapasitas tempat tidur di rumah sakit sejak awal pandemi. Menurut Policy Director Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda, penambahan kapasitas tempat tidur di rumah sakit tidak akan cukup untuk mengendalikan pandemi.

Pemerintah harus mengendalikan pandemi dari tingkat dasar melalui puskesmas. Kemudian, pemerintah fokus pada penanganan pasien di rumah sakit.

Hal itu karena puskesmas memiliki peran untuk memberikan layanan kesehatan dasar, rehabilitasi, upaya preventif, edukasi, hingga menelusuri kontak erat kasus Covid-19."Puskesmas memiliki peran sentral dalam penanganan pandemi," ujar Olivia dalam Webinar "Selesaikan Pandemi Mulai dari Puskesmas" pada Kamis (5/11).

Dalam survei yang dilaksanakan CISDI pada periode 14 Agustus - 7 September 2020, terlihat bahwa Puskesmas tidak disiapkan untuk berperan akif dalam penanganan pandemi. Survei yang melibatkan 765 responden di 674 puskesmas seluruh Indonesia itu menunjukkan hanya 45,4% yang pernah mendapat pelatihan mengenai penanganan Covid-19.

Di sisi lain, sebanyak 38% puskesmas menyatakan tidak memiliki standar operasional prosedur dalam penanganan pandemi. Padahal, lanjut Olivia, SOP penting untuk memastikan tenaga kesehatan di puskesmas mempunyai standar dalam memberikan layanan.

Survei juga menunjukkan ada lebih dari 50% puskesmas telah melaksanakan modifikasi lingkungan untuk mencegah penularan seperti mengatur tempat duduk dan memasang pembatas akrilik. Namun, ada 18,5% puskesmas tidak memiliki fasilitas cuci tangan dan hand sanitizer.

Selain itu, hanya ada 36% puskesmas yang telah memanfaatkan teknologi infomrasi seperti antrian pendaftaran online dan layanan jarak jauh. Hal itu menunjukkan masih banyak puskesmas yang belum mendapatkan pelatihan mengenai pengendalian dan pencegahan infeksi.

Survei CISDI juga menyoroti mengenai perlindungan bagi tenaga kesehatan puskesmas yang belum maksimal. Pasalnya, ada 66% responden yang menyebut adanya kekurangan alat perlindung diri esensial seperti masker N95. Sedangkan 42% responden menyatakan kekurangan gaun medis, dan 40% menyatakan kekurangan masker medis.

Hasil survei juga menunjukkan minimnya peran puskesmas dalam penelusuran kasus Covid-19. Sebanyak 96% responden mengaku melaksanakan penelusuran kontak erat pasien Covid-19.

Namun, 47% puskesmas hanya memiliki pelacak di bawah lima orang. Padahal, pelacakan kontak yang ideal untuk melandaikan kurva Covid-19 harus mencapai 70%-90% kontak per satu kasus positif.

"Dengan angka reproduksi virus, paling tidak ada pelacakan ke 20-30 kontak erat untuk satu kasus Covid-19," kata Olivia.

Selain pelacakan yang minim, kapasitas tes di puskesmas juga terbatas. Hasil survei menunjukkan hanya 39% puskesma yang melaksanakan pengambilan spesimen swab PCR. Sisanya sebanyak 61% menggunakan rapid tes antibodi.

Puskesmas juga masih lemah dalam hal pemantauan isolasi. Menurut Olivia, 99% responden puskesmas mengaku melaksankan pemantauan isolasi mandiri. Namun, 91% melaksanakan pemantauan hanya melalui telepon atau pesan, dan hanya 45% yang melakukan kunjungan rumah. Berdasarkan frekuensi, hanya 57% puskesmas yang memantau pasien isolasi mandiri setiap hari.

Di sisi lain, pandemi corona telah mengganggu layanan puskesmas. Terutama terkait layanan imunnisasi, layanan penyakit HIV, dan layanan pemeriksaan ibu hamil dan setelah melahirkan.

Dengan kondisi tersebut, CISDI merekomendasikan pemerintah untuk melaksanakan pelatihan dan sosialisasi terkait pengendalian Covid-19 secara reguler. Apalagi, pengetahuan mengenai pandemi terus bergerak dinamis.

Rekomendasi kedua yaitu pemerintah harus memobilisasi dan menempatkan sumber daya di puskesmas-puskesmas. Hal itu untuk mendukung upaya tes dan promosi kesehatan kepada masyarakat.

Rekomendasi ketiga yaitu memberikan tes Covid-19 secara reguler dan APD yang cukup pada tenaga kesehatan di puskesmas. Selain itu, puskesmas perlu menggunakan platform digital dalam mengedukasi masyarakat. Terakhir, pemerintah perlu mendorong partisipasi masyarakat berbasis komunitas untuk terlibat aktif dengan puskesmas dalam menangani pandemi corona.

Menanggapi hasil survei, Direktur Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan, Saraswati, mengatakan pemerintah memang sejak awal pandemi fokus pada penguatan kapasitas rumah sakit untuk menangani pasien Covid-19. Sehingga pelaksanakan tes dan pelacakan terutama di puskesmas menjadi tidak optimal.

Apalagi, sumber daya di Indonesia sangat terbatas. Oleh karena itu, pemerintah membutuhkan tenaga kesehatan tambahan.

Saat ini pemerintah membuka rekrutmen bagi relawan yang ingin menjadi pelacak dan manajer data di puskesmas. Upaya itu dilaksanakan untuk meningkatkan upaya pelacakan kasus Covid-19.

Sedangkan untuk pelatihan tenaga kesehatan di puskesmas telah dilaksanakan. Namun, hanya melalui Zoom dengan waktu yang singkat. "Sehingga tidak terserap maksimal oleh teman-teman di puskesmas,"ujar Saraswati.

Lebih lanjut dia menyebut masih ada keterbatas distirbusi APD. Pasalnya, pemerintah masih memprioritaskan rumah sakit untuk mendapatkan APD.

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan