RI Ajak Negara Maju Ubah Skema Kerja Sama Pengendalian Iklim dan Hutan

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno LP Marsudi (kanan) didampingi Wamenlu RI Mahendra Siregar.
Penulis: Antara
Editor: Yuliawati
5/11/2020, 22.22 WIB

Kerangka kerja sama global di sektor kehutanan yang disusun 10 atau 15 tahun lalu sudah tak mencerminkan situasi terkini. Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar menyebutkan tantangan pada masa 10-15 tahun lalu ada pada negara berkembang.

"Seakan negara maju punya pengetahuan dan track record yang lebih baik, sehingga arah kerja samanya negara maju membantu negara berkembang," kata Mahendra dalam sebuah sesi konferensi badan dunia mengenai perubahan iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Senin (2/11),, seperti dikutip dari Antara.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kondisi sudah berubah terutama dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan. Kini negara-negara maju juga mengalami kebakaran hutan dan lahan dalam skala yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara berkembang.

Sumbangan peningkatan emisi gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan lahan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Eropa pun menjadi lebih besar.

Mahendra mengatakan sepanjang 2020 terjadi 1.626 kebakaran hutan dan lahan di Eropa dan wilayah Amerika Latin bahkan menghadapi 74.100 kejadian kebakaran hutan dan lahan.

Selain itu, lima juta hektare hutan di Australia rusak akibat kebakaran dan 3,5 juta hektare hutan di Amerika Serikat terbakar selama periode Januari hingga Agustus 2020.

Luas area hutan dan lahan yang terbakar di Australia sepanjang 2019, menurut Mahendra, mencapai 33 kali luas area hutan dan lahan yang terbakar di Indonesia.

"Dan di Amerika Serikat (area hutan dan lahan yang terbakar) bisa lebih dari 20 kali luasan karhutla (kebakaran hutan dan lahan) di Indonesia. Ini faktanya. Jadi jangan gunakan angka 10-15 tahun lalu," kata Mahendra.

Sedangkan di Indonesia, kejadian kebakaran hutan dan lahan justru menurun drastis sepanjang 2020. Meski belum sempurna, Mahendra mengatakan, kebijakan pengelolaan hutan Indonesia telah membuahkan hasil yang lebih baik.

"Kami telah berhasil menerapkan kebijakan pengelolaan hutan yang jauh lebih efektif dan lebih baik dari negara yang saya sebutkan tadi," katanya.

Hal itu, menurut dia, antara lain terlihat dari penurunan bermakna luas area hutan dan lahan yang terbakar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2015 kondisi cuaca ekstrem telah memperparah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dan mengakibatkan lebih dari dua juta hektare hutan dan lahan terbakar. Namun, luas lahan dan area hutan yang terbakar turun drastis menjadi di bawah 150 ribu hektare pada  2020.

"Kita tidak sadar yang mestinya senang dengan pengurangan itu, negara maju juga tidak menyadari dan masih berpikir ini masih perlu dibantu," kata Mahendra.

Tetapi perbaikan kondisi tersebut tidak boleh lantas membuat pemerintah Indonesia berpuas diri dan menjadi lengah dalam menjalankan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Indonesia harus terus memperkuat upaya serta bekerja bersama negara-negara lain di dunia untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan peningkatan emisi gas rumah kaca.

Skema Baru Kerja Sama Pengendalian Iklim

Mahendra mengemukakan karena situasi dan kondisi sudah berubah, evaluasi dan kalibrasi ulang harus dilakukan dalam kerja sama internasional mengenai pengelolaan hutan dan pengendalian perubahan iklim.

Kerja sama dalam pengelolaan hutan dan pengendalian perubahan iklim perlu dibuat dalam skema yang tepat berdasarkan situasi dan kondisi yang ada.

"Yang terpenting bagi Indonesia kan apa yang perlu kita capai untuk kepentingan nasional kita maupun generasi penerus kita. Jadi mohon tidak dibalik-balik, kalau tidak ada uang kita tidak mau kerja sama serius, saya rasa tidak, bukan begitu persoalannya," katanya.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengemukakan bahwa dinamika politik terkait isu perubahan iklim di tataran global membutuhkan kekuatan dan kedinamisan para negosiator yang berjuang di ruang-ruang perundingan.

Para perunding, dia melanjutkan, harus jeli memperhatikan arah perkembangan isu-isu terkait perubahan iklim. Ia mencontohkan, di tataran global ada isu yang mengarah pada upaya menjadikan hutan tropis sebagai milik publik global.

Alue juga mengemukakan adanya kecenderungan untuk mengalihkan beban pengurangan emisi gas rumah kaca kepada negara-negara berkembang pemilik hutan tropis setelah Kesepakatan Paris."Ini butuh kehati-hatian kita," katanya.

Di samping itu, ia mengungkapkan munculnya keinginan untuk menjadikan kawasan hutan Indonesia sebagai hutan kuno dan terancam kelestariannya sehingga tidak tidak boleh diapa-apakan lagi.

Selain itu, ia melanjutkan, di tataran global ada kecenderungan pengarusutamaan perubahan nilai bebas deforestasi yang memungkinkan semua produk hutan, baik kayu maupun non-kayu, serta perkebunan menjadi sulit diperdagangkan karena harus dipastikan bebas deforestasi.