Indonesia Bisa Jadi Negara Superpower Bidang Lingkungan Hidup
Selama 13 tahun melakoni bisnis sosial dengan menjaga konservasi lahan gambut di Kalimantan Tengah, Dharsono Hartono, menuai hasilnya tahun ini. Dharsono mendapat penghargaan sebagai satu dari 20 Social Innovators of The Year 2020 dari Schwab Foundation. Penghargaan yang bergengsi ini membuat dia mendapat kursi istimewa sebagai pembicara di World Economic Forum (WEF) selama tiga tahun ke depan.
Dharsono bersama sahabatnya Rezal Kusumaatmadja memulai bisnis sosial dengan mendirikan Katingan Mentaya Project pada 2007. Proyek restorasi ekosistem yang berada di kawasan hutan rawa gambut Katingan seluas 150 ribu hektar ini merupakan proyek konservasi dan perdagangan karbon terbesar di dunia.
Mantan bankir PricewaterhouseCoopers and JP Morgan ini awalnya ingin menjadi pengusaha kelapa sawit. Pertemuannya dengan Rezal, kawan ketika kuliah di Universitas Cornell, mengubah keinginannya. "Dia menantang saya dan menawarkan bisnis bagaimana kami menyelamatkan hutan gambut di Kalimantan," kata Dharsono dalam sebuah wawancara dengan Yuliawati, Ameidyo Daud dan Dini Apriliani dari Katadata.co.id, Rabu (23/9).
Dharsono dan Rezal kemudian mendirikan PT Rimba Makmur Utama (RMU) dalam mengelola Katingan Mentaya Project. Kedua-duanya menjadi investor untuk proyek tersebut. Dharsono kemudian mencari lahan yang dibutuhkan sekaligus mengurus proses perizinan selama enam tahun. "Enam tahun pertama tidak gampang, saya tak punya pekerjaan full time karena perusahaan masih proses mendapatkan izin," kata Dharsono.
Dharsono dan Rezal memulai proyek ini dengan mengajak kerja sama sekaligus memberdayakan masyarakat sekitar areal Katingan. Pemberdayaan masyarakat merupakan faktor kunci sehingga masyarakat tak perlu membuka hutan dan membakar areal gambut untuk dijadikan lahan perkebunan. "Kami mengunjungi 34 desa sekitar untuk menunjukkan masyarakat sebagai partner yang sejajar," kata dia.
Selama 13 tahun mengawal proyek ini, tantangan yang harus dihadapi Dharsono dan seluruh stakeholder PT Rimba yakni menjaga konsistensi masyarakat dalam menjaga lahan. "Tantangan itu tidak gampang, mengubah paradigma dan perilaku masyarakat butuh waktu bertahun-tahun," kata dia.
Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana proses yang Anda lalui sehingga mendapatkan penghargaan dari Schwab Foundation?
Ada beberapa anggota World Economic Forum (WEF) yang menominasikan saya. Penghargaan ini diprakarsai istrinya Klaus Schwab dari Schwab Foundation yang memiliki akses ke WEF. Prosesnya dimulai enam hingga delapan bulan lalu hingga saya terpilih sebagai salah satu social innovator. Saya rasa cukup membanggakan buat Indonesia karena prosesnya secara global. Apalagi penerima penghargaan asal Indonesia masih di bawah 10 orang.
Apa yang bisa didapatkan dari penghargaan ini?
Seluruh 23 awardee bergabung dalam satu komunitas yang terhubung dan akan diundang ke WEF di Davos setiap tahun selama tiga tahun ke depan. Dalam forum itu kami akan diperkenalkan kepada para peserta mengapa kami terpilih. Hal ini berbarengan dengan agenda WEF mengenai suistanable development investment summit.
Bagaimana awalnya terjun dalam bisnis konservasi lingkungan ini ?
Ketika itu saya berpengalaman di bank dan bermimpi jadi pengusaha. Awalnya Oktober 2007, saya menghadiri konferensi tahunan Gabungan Asosiasi Kelapa Sawit (GAPKI) kelapa sawit untuk melihat potensi bisnisnya. Di sana saya bertemu Pak Rezal Kusumaatmadja yang merupakan teman kuliah di Cornell. Dia itu pendiri Mazar Starling Resources, konsultan di bidang sustainability. Pak Rezal juga punya pengalaman di bidang lahan karena sangat aktif dalam menangani kebakaran 1998 akibat pembukaan satu juta hektar gambut di Kalimantan Tengah di masa Pak Presiden Soeharto. Rezal punya ide dan melihat potensi bisnis karbon. Tahun yang sama kami juga datang ke konferensi perubahan iklim di Bali yaitu UNFCCC. Di situ kami melihat dan belajar serta berbicara dengan beberapa pemain yang melihat bisnis ini potensial.
Setelah itu langsung menyiapkan lahan ?
Akhirnya kami mencari lahan dan kebetulan saya mengetahui ada lahan sekitar 200 ribu hektare di Katingan, Kalteng yang tidak ada izinnya. Lalu kami mengajukan izin hak kelolanya. Awalnya pemerintah mengeluarkan izin restorasi ekosistem pada 2008. Kemudian pada 2013 kami mendapat izin 100 ribu hektare dan 2016 kami ajukan lagi sehingga total jadi 157 ribu hektare.
Kami mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, lalu ada restorasi ekosistem. Walaupun ada izin pemanfaatan hasil kayu, tapi kami lebih memanfaatkan restorasinya. Perusahaan kami sudah dapat izin restorasi ekosistem 60 tahun.
Berapa investasi yang Anda habiskan untuk memulai bisnis mulai dari izinnya ?
Biaya yang kami keluarkan untuk mendapatkan izin hampir Rp 23 miliar untuk membayar izin selama 60 tahun. Jami kami membayar di muka sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di luar itu ada banyak biaya yang kami keluarkan seperti investasi perusahaan dan biaya operasional bekerja sama dengan masyarakat. Untuk angka konservatif Rp 50 miliar, sebenarnya jauh lebih besar dari itu.
Siapa investornya ?
Tidak ada investor di luar Dharsono dan Rezal, hanya kami berdua saja.
Saat enam tahun RMU masih memproses izin, Anda hanya menjadi satu-satunya pegawai tahun 2007. Apa yang Anda lakukan saat itu ?
Enam tahun pertama tidak gampang, tidak ada full time job karena perusahaan masih proses mendapatkan izin. Jadi tidak ada kepastian dapat carbon credit. Tapi saya dan Pak Rezal serius berkomitmen. Enam tahun pertama tinggal di Jakarta, istri saya membantu urus perizinan di kementerian dan kami sudah ada kerja sama dengan Yayasan Puter untuk pengembangan masyarakat. Yayasan ini sudah mendapat pendanaan dari think tank foundation dan melakukan pemetaan, pemberdayaan masyarakat. Setelah itu kami mempersiapkan masyarakat sebelum mendapatkan izin dengan kegiatan pemetaan partisipatif.
Ketika memulai proyek ini, bagaimana tanggapan masyarakat?
Pada saat itu masyarakat bertanya apa keuntungannya buat mereka, Ternyata permasalahannya kawasan itu tidak memiliki peta sehingga ada potensi main klaim. Maka kami bantu mendapatkan peta desa sehingga mereka bisa mandiri dan dapat kepastian lahan.
Bagaimana model bisnis dari Katingan Mentaya Project?
Proyek Katingan Mentaya itu kolaborasi antara perusahaan, masyarakat, dan lainnya. Karena mendapat izin restorasi ekosistem hutan maka kami memiliki hak carbon credit setiap mencegah deforestasi dan kebakaran. Ini bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan setiap tahun ada sertifikasinya.
Menyapa proyek Katingan ini bisa dikatakan yang terbesar di dunia ?
Kalau dari emisi karbon yang kami cegah atau kredit karbon yang dihasilkan itu masih terbesar di dunia. Karena 150 ribu hektare itu areal gambut yang bisa memiliki kredit karbon 10 sampai 20 kali lebih banyak daripada hutan biasa. Makanya kredit karbon yang kami hasilkan 7 juta ton per tahun itu jadi proyek paling besar di dunia.
Untuk konservasi yang RMU lakukan dalam bentuk apa saja?
Yang kami lakukan mengembangkan kapasitas serta identifikasi pekerjaan masyarakat agar bisa lebih produktif dan punya nilai tambah. Ini agar mereka tidak harus menebang hutan atau bakar lahan.
Caranya seperti apa mendekati masyarakat ini ?
Menempatkan masyarakat sebagai partner setara, itu kunci pendekatannya. Contohnya kami mengunjungi desa-desa pada tahun 2014 untuk meyakinkan masyarakat mengubah cara bertani agar tidak bakar lahan dan pakai pupuk organik. Ternyata setelah berkunjung ke lima desa hanya dua petani yang tertarik karena tidak gampang untuk ubah paradigma dan kebiasaan mereka.
Apa masalah yang dihadapi masyarakat ?
Mereka mengalami tiga hambatan yakni akses keuangan, akses pasar dan masalah kapasitas. Makanya RMU bantu keuangan dengan microfinance agar petani berkomitmen tidak membakar, bertani tanpa bahan kimia, dan semua produk yang dihasilkan kami siap beli. Jadi kami buat ekonomi sirkular di antara mereka.
Banyak pelaku bisnis dan masyarakat Indonesia belum memahami bisnis konservasi dan kredit karbon. Bagaimana anda menjelaskannya ?
Bisnis ini untuk awam lumayan membingungkan, tapi intinya kami dapat insentif untuk menjaga lahan (hutan) supaya tidak terbakar, deforestasi, serta bisa menunjukkan penambahan nilai mata pencaharian masyarakat. Jadi ada potensi pendapatan karena banyak perusahaan di luar negeri melihat itu.
Secara umum, apa tantangan menjalankan model bisnis ini ?
Pendekatan ini butuh waktu untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Selama 13 tahun kami pelan-pelan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Orang bilang bisnis karbon sektor kehutanan itu tidak gampang karena harus transparan dalam menurunkan emisi, menambah nilai ke masyarakat dan diaudit setiap tahun.
Pemerintah menyampaikan potensi kredit karbon yang bisa didapatkan RI mencapai Rp 350 triliun. Apakah potensi bisnis ini sebesar itu ?
Sebagai proyek paling besar di dunia yang teregistrasi sampai saat ini, kami bisa buktikan ada business case untuk kegiatan ini. Indonesia dengan potensi kekayaan hutan dan mangrove bisa memberikan pendapatan sangat signifikan. Jika dulu ada perubahan paradigma membuka lahan jadi HTI atau kelapa sawit maka sekarang jadi konservasi dan restorasi. Ini yang kami lihat dalam perjalanannya ada pertumbuhan demand karena dunia mengakui kita perlu alam untuk kehidupan. Makanya kegiatan nature base solution harus ada nilainya sehingga memberikan insentif finansial apabila bisa menjaga hutan tropis yang kandungan karbonnya luar biasa.
Apa tantangan berbisnis kredit karbon ?
Tantangan setiap daerah berbeda tapi mengubah paradigma tidak gampang. Regulasi juga rentan karena yang dijual tidak ada bentuk fisiknya meski ada Paris Agreement. Tapi saya yakin pemerintah sedang siapkan Perpres untuk meningkatkan nilai ekonomi karbon. Ini karena mereka melihat potensinya dan perlu kerja sama semua pihak untuk menurunkan emisi.
Siapa saja klien RMU dalam bisnis ini ? Bagaimana anda menawarkan bisnis ini untuk menggaet klien ?
Pertama kami dapat klien beberapa dari Jepang, setelah itu ada satu klien yang serius yaitu Shell. Kami punya proyek paling besar di dunia dan sangat transparan dalam kegiatan sehingga orang tahu kita dibanding kita tahu mereka. Dengan transparansi dan komunikasi bersama semua stakeholder, mereka akan melihat kami serius untuk jangka panjang. Salah satunya Shell yang 2 sampai 3 tahun terakhir kerja sama karena ada perubahan paradigma mendasar di negara maju. Sekarang banyak perusahaan minyak turunkan emisi dan milenial sekarang care terhadap isu lingkungan. Terakhir, selama dua tahun terakhir adawillingness to pay.
Ada masukan buat pemerintah agar bisnis ini semakin menarik ?
Pemerintah mengakui ini perlu kolaborasi semua pihak mulai dari komunitas sampai masyarakat. Ini karena yang kami jual itu ujungnya sertifikat jasa lingkungan sehingga kredibilitas dan integritas sistem jadi hal penting. Potensi ini menjanjikan dan kami diberikan kesempatan untuk ini. Cuma, peluang itu sekali saja, kalau (kebijakannya) salah arah malah bisa jadi hambatan untuk di depannya. Tapi saya yakin pemerintah akan kolaboratif karena Indonesia punya potensi untuk jadi environmental super power.
Ini merupakan bisnis jangka panjang, berapa tenaga kerja yang diperlukan untuk konservasi ?
Tahun 2007 sampai 2013 itu saya satu-satunya pegawai tapi sekarang lebih dari 300. Saat kemarau kami bahkan berdayakan 800 warga untuk bikin regu siaga api, setiap tahun bisa lebih dari 1.000. Ada mitos masyarakat lokal tidak mampu, justru lebih dari 80% pegawai PT RMU adalah warga lokal. Kami banyak menangkal mitos yang ada di perusahaan sektor lahan, asalkan transparan, dapat kepercayaan masyarakat, dan menggali potensi SDM dari wilayah tersebut.
Rencana RMU ke depannya apa yang perlu dicapai?
Di Katingan sendiri banyak yang mau kami kerjakan. Contohnya meningkatkan nilai tambah pertanian seperti gula kelapa, vanilla, mete. Ada juga potensi membangun renewable energy dari wilayah sungai. Intinya potensi lima tahun ke depan masih banyak yang bisa dilakukan di Katingan untuk memberdayakan masyarakat. Ukurannya berdasarkan 9 dari 17 tolak ukur dalam SDG’s yang akan kami paparkan ke pembeli karbon dan investor.