Hasil Pilpres AS Mempertaruhkan Nasib Energi Bersih dan Mobil Listrik
Proses penghitungan suara pemilihan presiden Amerika Serikat sedang berlangsung. Kedua calon, Donald Trump dan Joe Biden, bersaing ketat memperebutkan jabatan itu. Melansir dari CNN, Rabu (4/11), pukul 16.00 WIB, Biden memperoleh 220 suara elektoral dan Trump 213 suara elektoral.
Posisi itu belum final. Keduanya memiliki peluang yang sama untuk menang. Terlepas dari persoalan pemilihan presiden, yang menarik, kedua kandidat memiliki pandangan berbeda soal penanganan perubahan iklim.
Trump, sebagai petahana, telah menghapus beberapa peraturan dan kebijakan untuk mencegah pemanasan global. Bahkan Presiden AS ke-45 itu membekukan komitmen negaranya dalam Kesepakatan Paris. Ia juga mencabut mandat ekonomi bahan bakar rata-rata perusahaan yang dibuat pemerintahan Barack Obama.
Biden, yang mendampingi Obama sebagai wakil presiden pada 2009 hingga 2017, dalam kampanyenya berjanji akan fokus menggenjot pengembangan energi baru terbarukan atau EBT. Alokasi dananya bakal mencapai US$ 2 triliun (sekitar Rp 29.175 triliun).
Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat apabila Biden berhasil menang, pengembangan energi bersih di Indonesia ikut terpengaruh. Pengaruhnya ada dua. “Pertama, soal isu leadership (kepemimpinan,” katanya kepada Katadata.co.id.
Joe Biden's effect kemungkinan akan muncul. Efek ini akan mendorong negara lain, termasuk Indonesia, untuk mengikuti AS. Fokus kebijakan global kemungkinan akan berubah ke isu perubahan iklim.
Efek serupa sebenarnya terjadi ketika Trump menang dan memutuskan keluar dari Kesepakatan Paris. Indonesia pun memilih langkah tidak memasang target ambisius pengurangan karbon yang tertulis dalam Nationally Determined Contribution atau NDC. Di saat Eropa dan Asia Timur berlomba-lomba menurunkan target emisi karbon hingga 0% di 2050, negara ini hanya 31%.
Pengaruh kedua, terkait investasi. Dengan dana US$ 2 triliun yang bakal AS gelontorkan, maka investasi hijau ikut terdorong. Investasi ini mengadopsi prinsip tata lingkungan, sosial, dan kelola (ESG) yang baik. "Saya kira ada pengaruhnya di sini," ujar Tata.
Di bawah kepemimpinan Biden, ia berpendapat dunia memiliki kesempatan untuk fokus pada penyediaan energi bersih dan pencegahan perubahan iklim. Indonesia pun berpeluang untuk lebih cepat bergerak melakukan transisi energi dari fosil ke EBT.
Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan program Biden soal energi hijau memang lebih jelas ketimbang Trump. Biden tampak lebih agresif dengan anggaran yang besar dan berkomitmen menghidupkan kembali Kesepakatan Paris negaranya.
Indonesia yang sudah memasukkan program percepatan energi terbarukan untuk memenuhi target bauran energi nasional pada 2025 akan mendapat sokongan lebih kuat. Termasuk soal pendanaan. “Tentu apabila AS memberi perhatian lebih, maka akan lebih banyak dukungan dana untuk negara lain, seperti Indonesia,” ucapnya.
Beda Trump dan Biden soal Mobil Listrik
Kemenangan Trump atau Biden juga akan menentukan arah pengembangan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Pandangan keduanya pun berbeda, meskipun sama-sama mendukung kehadiran teknologi ramah lingkungan itu.
Biden ingin industri mobil listrik lebih agresif. Dalam kampanyenya, ia mengatakan akan membangun lebih dari setengah juta stasiun pengisian daya kendaraan listrik pada 2030. Lalu, di bawah kepemimpinannya juga bakal ada kredit pajak kendaraan listrik dan peraturan baru untuk mendorong penggunaan EV.
Pada saat kampanye, Biden sempat secara pribadi bertemu dengan para penambang AS. Ia mengatakan akan mendukung aktivitas produksi tambang mineral domestik untuk mendorong industri baterai kendaraan listrik dan panel surya.
Trump cenderung fokus pada pemanfaatan bahan bakar fosil. Hal ini sebagai upayanya mendorong industri otomotif dan migas AS. Di bawah kepemimpinannya, produksi minyak dan gas alam mencapai rekor tertinggi. Bahkan negara itu berhasil masuk ke kemandirian energi.
Pada 2019, AS menjadi negara penghasil minyak terbesar di dunia dengan laju produksi 19,5 juta barel per hari. Produksinya sebagian besar berasal dari shale oil yang sulit diakses. Karena itu, perusahaan energi di sana memakai teknologi fracking untuk mengeksploitasi ladang migasnya.
Teknologi ini sempat menjadi isu panas dalam debat capres AS. Biden tak jelas menunjukkan penolakannya dan hanya mengatakan akan mendorong energi terbarukan. Di media sosial, tim kampanye Trump lalu menunjukkan video-video Biden yang mengatakan akan menghentikan praktik fracking.
Gara-gara ini, suara Biden menjadi tak populer di kalangan pekerja migas, terutama di negara Pennsylvania. Sementara, Trump dalam seminggu terakhir ini terus menyuarakan dukungannya terhadap fracking.
Dalam banyak penelitian fracking terbukti tidak ramah lingkungan. Prosesnya melibatkan injeksi air dengan bahan kimia bertekanan tinggi ke dalam lubang sumur untuk membuat retakan di tempat migas dapat mengalir bebas.
Para penentang fracking berpendapat teknologi ini tak sebanding dengan dampak lingkungannya. Proses injeksinya akan membuat air tanah tercemar, polusi suara dan udara, hingga memicu gempa bumi.
Biden Menang, Permintaan Nikel Naik
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai permintaan nikel akan meningkat apabila Biden menjadi presiden AS. “Hal ini terjadi karena akselerasi penetrasi kendaraan listrik di pasar AS,” katanya.
Permintaan nikel untuk baterai berdasarkan estimasi dari Benchmark Mineral Intelligence akan meningkat menjadi 1,4 juta ton di 2030 atau 30% dari total produksi. Saat ini angkanya baru 139 ribu ton atau 6% dari total produksi nikel. Dampak lainnya adalah teknologi EV akan semakin matang dan harga baterai bertambah murah.
Indonesia memang tidak langsung mengekspor bijih nikel ke AS. Namun, pabrikan mobil listrik negara itu, seperti Tesla, mendapatkan pasokan baterai dari LG Chem Ltd dan Panasonic. Nah, pemasok nikel untuk kedua perusahaan itu salah satunya dari perusahaan Indonesia, PT Vale Indonesia Tbk.
LG Chem saat ini pun tertarik membangun pabrik di Indonesia. Rencananya pabrik ini akan menggandeng konsorsium perusahaan pelat merah, yaitu MIND ID, Pertamina, dan PLN, serta Contemporary Amperex Technology Co Ltd asal Tiongkok.
Yang perlu menjadi perhatian adalah Tesla sudah memakai ketentuan green nickel atau produksi nikel rendah karbon. Hal ini perlu diantisipasi Indonesia, yang memiliki 30% cadangan nikel dunia. Caranya dengan memakai teknologi dan pemrosesan ramah lingkungan. "Dengan demikian, nikel dari Indonesia punya nilai tambah di pasar dunia," kata Fabby.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu mengatakan Tesla tertarik berinvestasi di Indonesia. Perusahaan teknologi yang dimpimpin Elon Musk itu berminat membangun pabrik baterai lithium di sini.
Luhut meminta Tesla untuk berinvestasi di Indonesia. “Mereka menanyakan apakah cadangan nikelnya cukup? Saya bilang taruh investasimu di sini, nanti cadangannya saya kasih,” katanya kepada pada September lalu.