Respons Negatif Pengusaha Terhadap RUU Larangan Minuman Beralkohol

ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin
Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menata botol berisi minuman keras yang akan dimusnahkan di kantor Bupati Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo.
13/11/2020, 19.21 WIB

Polemik Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditanggapi negatif oleh pengusaha restoran dan kafe. Mereka mengatakan aturan tersebut akan berdampak pada penurunan omzet.

Hal ini lantaran makanan dan minuman memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan hotel dan restoran. Dampak tersebut diperkirakan akan terjadi terutama di wilayah seperti Bali dan Jakarta.

"Kalau belum clear lebih baik dikaji ulang, dilihat kembali apa tujuannya," kata Ketua Bidang Legal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bambang Britono saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (13/11).

 Berdasarkan data PHRI yang dikutip dari Heineken pada tahun 2014, Indonesia merupakan konsumen bir terendah di kawasan Asia Pasifik. Konsumsi bir di Indonesia tercatat 1,1 liter per kapita atau di bawah Myanmar sebanyak 3 liter bir per kapita.

Sedangkan dari data organisasi kesehatan dunia (WHO), konsumsi minuman beralkohol per kapita di RI hanya 0,8 liter pada 2016 lalu. Angka ini berada di bawah rata-rata Malaysia yakni 0,9 liter per kapita, Singapura 2 liter per kapita, Filipina 6,6 liter per kapita, dan Thailand yakni 8,3 liter per kapita. 

Draf RUU tersebut juga menyatakan ada perkecualian konsumsi alkohol di kawasan wisata. Namun Bambang tetap menilai aturan tersebut tetap bisa mencoreng wajah RI dalam kancah pariwisata global, apalagi tolok ukur ketentuan tersebut sulit diidentifikasi.

Dia mencontohkan, tidak semua kawasan wisata berada di Bali yang relatif terkenal. Sedangkan di beberapa titik wilayah Jakarta bukan kawasan wisata tapi terkenal dengan hiburan malamnya. "Minol itu sangat terkait leisure economy, padahal kafe seperti di Senopati  (Jakarta Selatan) itu sedang berkembang," kata Bambang.

Menurutnya, hal yang perlu diatur dan diawasi ialah penggunaan minuman alkohol oplosan. Ia pun memastikan, penjualan minol di hotel maupun restoran merupakan racikan minuman legal.

Bambang juga berharap, DPR dapat menyertakan riset yang mendalam sebelum menerbitkan UU tersebut. "Jangan sampai mau menangkal oplosan, tapi salah sasaran," katanya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Eddy Sutanto menyarankan, pengaturan minuman alkohol sebaiknya mengacu pada negara lain, seperti Amerika Serikat.

"Semestinya pengaturan berdasarkan usia, di bawah 21 tahun tidak boleh konsumsi. Harus dibuktikan dengan kartu identitas," ujar dia.

Ia pun khawatir, aturan tersebut dapat menjadi membingungkan dalam implementasinya. Aturan tersebut juga diperkirakan bisa berdampak besar terhadap penurunan omzet restoran dan kafe.

"Ini bisa menjadi pasal karet, siapa saja bisa di-sweeping," ujar dia. Namun, ia menyatakan tidak banyak anggota Apkrindo yang menjual minuman beralkohol.

RUU ini diajukan 18 anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dua anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan seorang anggota Fraksi Partai Gerindra.  Salah seorang pengusul dari Fraksi PPP, Illiza Sa'aduddin Djamal beralasan larangan minuman beralkohol merupakan amanah konstitusi dan agama.

Dia lalu menyinggung Pasal 28H ayat 1 undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 berbunyi, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

"RUU ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman masyarakat dari peminum minuman beralkohol," ujar mantan Wali Kota Banda Aceh ini.

Meski demikian pendapat dewan terbelah mengenai usulan RUU ini. Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Ahmad Sahroni beranggapan aturan ini belum diperlukan lantaran berpotensi memunculkan penyelundupan alkohol. Hal yang penting menurutnya adalah penegakkan regulasi yang ada secara ketat.

"Aturan soal larangan konsumsi alkohol di bawah 21 tahun belum benar-bener ditegakkan. Begitu juga larangan menyetir ketika mabuk," ujarnya dikutip dari Antara, Jumat (13/11).

Berdasarkan Pasal 7 dan 20 RUU Larangan Minuman Alkohol, ancaman pidana bagi mereka yang meminum minol adalah pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling sedikit Rp 10 juta.

Sedangkan Pasal 8 ayat (1) dan (2) menyebutkan, larangan memproduksi, menyimpan, mengedarkan, menjual, dan mengonsumsi minuman alkohol dikecualikan untuk kepentingan terbatas. 

Adapun, kontribusi minuman alkohol terhadap penerimaan cukai minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) pada 2016 sebanyak Rp 2,9 triliun untuk golongan A, Rp 1,65 triliun untuk golongan B, dan Rp 564 miliar untuk golongan C.

Reporter: Rizky Alika