Saat menyerahkan 13 Surat Keputusan (SK) Perhutanan Sosial untuk tiga kabupaten di Jawa Timur dua tahun lalu, Presiden Joko Widodo berpesan agar izin pemanfaatan hutan itu digunakan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan.
Bertempat di Desa Ngimbang, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur, Presiden Joko Widodo, menyerahkan SK Perhutanan Sosial untuk Bojonegoro, Blitar, dan Malang, dengan luas 8.975,8 hektare bagi 9.143 kepala keluarga. “Saya titip SK yang telah diterima, gunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan keluarga. Ini akan saya pantau terus dan saya cek. Awas kalau tidak ditanami,” kata Presiden Joko Widodo, dikutip Tempo.co.
Dari target alokasi hutan dengan skema Perhutanan Sosial 12,7 juta hektare, saat ini telah tercapai 4,3 juta hektare, 138 ribu hektare di antaranya ada di Jawa Timur. Karena berada di Pulau Jawa, seluruh masyarakat sekitar hutan yang tergabung pada program Perhutanan Sosial bermitra dengan Perusahaan Umum Perhutani. Pasalnya, Perum Perhutani berwenang mengelola hutan negara di Pulau Jawa dan Madura.
Menurut riset Katadata Insight Center (KIC), Jawa Timur unggul pada skema Kemitraan Kehutanan program Perhutanan Sosial. Skema kemitraan tersebut berbentuk Pengakuan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) dan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS). Katadata telah mengumumkan hasil riset ini pada 5 November 2020 melalui acara daring yang bertajuk “Apresiasi Katadata Regional Summit 2020.” Berdasarkan perhitungan, Jawa Timur memiliki nilai indeks tertinggi 59,68 pada skema Kemitraan Kehutanan. Keunggulannya tampak pada jumlah potensi komoditas (842 jenis).
Untuk mendapatkan indeks, KIC melakukan riset pendahuluan, menyusun kerangka dan metodologi indeks, menghimpun data, lalu mengolah data. Terdapat tiga subindeks yang menjadi pertimbangan perhitungan indeks yaitu input, proses, dan output.
“Pada akhirnya, ketiga skor subindeks tersebut kami agregasikan lagi dengan bobot yang sama untuk mendapatkan skor Indeks Perhutanan Sosial untuk masing-masing provinsi dan skema hutan,” ujar Direktur Riset KIC Mulya Amri. Penilaiannya sendiri terbagi menjadi lima, sesuai dengan skema program Perhutanan Sosial yang ada berupa Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, dan Kemitraan Kehutanan.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Jawa Timur, Surat Keterangan (SK) Kemitraan Kehutanan yang dikantongi sudah mencapai 272 unit pada 2017 – 2019. Kulin KK dan IPHPS masing-masing memiliki 252 dan 20 unit SK. Pada pelaksanaannya juga terdapat beberapa kebijakan untuk mendukung skema tersebut agar masyarakat bisa makin sejahtera.
“Saat ini kami memaksimalkan pendampingan kelola kawasan, kelembagaan, dan usaha,” ujar Penyuluh Kehutanan Ahli Muda Cabang Dinas Kehutanan Wilayah Jember Provinsi Jawa Timur Imam Buhari kepada Tim Riset Katadata saat melakukan wawancara daring (2/11).
Imam selaku penyuluh mengganggap bahwa pendampingan kelembagaan dan pengelolaan kawasan sangat penting agar masyarakat dapat mandiri dalam pengelolaan hutan beserta hasilnya. Ia pun memfasilitasi akses ke berbagai pihak. Imam dan para penyuluh dari Dinas Kehutanan Jatim juga berkoordinasi dengan dinas lainnya agar program terlaksana dengan baik.
“Kami melibatkan pemerintah daerah di kabupaten / kota, khususnya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda),” tuturnya. Hal ini dilakukan karena pemerintah kabupaten / kota yang memiliki kemampuan teknis langsung ke desa, sehingga pelaksanaannya akan lebih mudah.
Imam melihat keseriusan semakin kuat dengan adanya edaran Menteri Dalam Negeri pada awal tahun ini yang ditujukan kepada gubernur dan bupati / wali kota. “Tahun depan rencananya kami berkolaborasi dengan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa),” ujarnya.
Proyek Percontohan LMDH Rengganis jadi Bukti Keseriusan
Minggu malam pada hari pertama tahun 2006 itu menjadi malam yang tak terlupakan bagi warga Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Banjir bandang yang datang dalam kegelapan malam itu tak hanya meluluhlantakkan perkampungan-perkampungan di lereng Gunung Argopuro. Pada malam itu, ada 58 orang tewas tergulung banjir.
Banjir itu menyisakan duka, tapi juga membuka mata warga di kaki Pegunungan Hyang Argopuro soal pentingnya menjaga hutan di lereng gunung tersebut. Hutan tak semata jadi sumber penghidupan, tapi juga pelindung mereka.
Masyarakat di lereng Pegunungan Hyang Argopuro telah lama memanfaatkan hutan sebagai sumber penghidupan. Warga Desa Pakis, Kecamatan Panti misalnya, membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Rengganis . Mereka juga memiliki konsep pengelolaan hutan mandiri dengan sebutan Rimba Sosial.
Dijadikan proyek percontohan oleh Dinas Provinsi Jawa Timur, ternyata LMDH Rengganis telah bermitra dengan Perum Perhutani sejak 2005. Kerja sama tersebut berbentuk Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Lalu dijadikan proyek percontohan sejak dikeluarkannya SK Kulin KK pada April 2019 dengan luas 1.032,29 Ha.
“Sekarang jadi lebih kuat perlindungan untuk mengelola hutan karena sudah dapat pengakuan dari pemerintah,” ucap Ketua LMDH Rengganis Hartono kepada Tim Riset Katadata melalui telpon (6/11). Hartono melihat LMDH Rengganis, yang beranggotakan lebih dari 700 orang ini, dapat dijadikan contoh karena kuatnya kemitraan dengan Perum Perhutani.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur memberikan sejumlah kemudahan dan bantuan. Dalam soal keuangan, LMDH Rengganis mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp 17 miliar pada 2017 yang menjadi bekal pengembangan usaha kopi. Selain itu, mereka juga menerima bantuan dari Dinas Perikanan Jawa Timur dalam bentuk bibit ikan lokal.
Tak hanya kopi, setelah mendapatkan SK Perhutanan Sosial, kini LMDH Rengganis dapat membentuk KUPS untuk beberapa komoditas lain seperti durian, nangka, petai, dan alpukat. Mereka pun mendulang keuntungan lumayan dari usaha tersebut. “Kami proses kopi dari panen sampai pengemasan dan distribusikan ke beberapa kabupaten,” kata Hartono.
Untuk melindungi sumber penghasilannya, masyarakat juga membantu mengawasi hutan agar tidak dirusak oleh oknum tidak bertanggung jawab. “Orang-orang sudah takut duluan kalau mau tebang pohon sembarangan, karena tahu sanksinya akan berat,” kata Hartono. Jika ada laporan kerusakan hutan, Hartono tidak segan-segan melaporkannya kepada yang berwajib dan Dinas Kehutanan Jember.
Meski sudah memiliki kepastian hukum, masih terdapat tantangan yang dihadapi para petani LMDH Rengganis. Menurut Hartono, mereka masih mengalami kesulitan mengakses pupuk subsidi yang diberikan pemerintah. “Sekarang ada Perhutanan Sosial dan dapat pengakuan negara, akses terhadap pupuk subsidi seharusnya lebih mudah,” dia berharap.
Tak hanya itu, jarak tanam produksi pun masih mengikuti teknis PHBM dan belum berubah seperti regulasi pada skema Kemitraan Kehutanan. Jarak tanam saat ini masih berkisar 3 meter (lebar) dan 2 meter (panjang), padahal yang ideal adalah bagi skema kemitraan adalah 6 meter kali 2 meter. “Jadi terlalu sempit ruang untuk masyarakat,” dia menjelaskan. Oleh karenanya, Hartono berharap hal ini dapat ditetapkan di Rencana Kerja Tahunan (RKT).