Peluang Korporasi Saat Vaksinasi Pemerintah Berjalan Lambat

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.
Petugas kesehatan menunjukkan vaksin COVID-19 Sinovac di Rumah Sakit (RS) Umum Pusri Palembang, Sumatera Selatan, Senin (25/1/2021). Presiden Joko Widodo menargetkan sebanyak 181,5 juta rakyat Indonesia akan mendapatkan suntikan vaksin COVID-19 sebelum tahun 2021 berakhir.
Penulis: Pingit Aria
25/1/2021, 22.17 WIB
  • Vaksinasi oleh pemrintah berjalan lambat.
  • Swasta dapat mempercepat vaksinasi Covid-19.
  • Vaksinasi mandiri oleh perusahaan harus tetap diberikan secara gratis bagi karyawan.

Hampir dua pekan sejak dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, program vaksinasi pemerintah baru bisa menjangkau 161.959 orang. Angka itu baru sekitar 10% dari target 1.487.408 tenaga kesehatan yang menjadi sasaran vaksinasi pada tahap awal.

Pemerintah kemudian mengkaji akses vaksin Covid-19 mandiri oleh korporasi. Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melarang perusahaan memungut biaya vaksin kepada karyawan.

"Untuk perusahaan yang mengadakan program vaksin bagi karyawannya, tidak diperkenankan untuk memungut bayaran atau melakukan pemotongan gaji,” kata Airlangga seperti dikutip dari keterangan pers, Senin (25/1).

Kalaupun nantinya disetujui, pemerintah akan mengawal proses pengadaan vaksin mandiri guna mencegah terjadinya komersialisasi. Adapun, pengadaan vaksin mandiri akan dilakukan secara paralel dengan tidak mengurangi jatah vaksin gratis oleh pemerintah.

Vaksinasi mandiri oleh perusahaan diharapkan dapat mempercepat terjadinya kekebalan komunitas. Saat ini, pemerintah sedang melakukan pengadaan 426,8 juta dosis vaksin dari berbagai produsen yang akan disalurkan secara gratis. Estimasi kebutuhan anggaran untuk vaksin tersebut sebesar Rp 66,5 trilun-73,3 triliun.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga tidak mempermasalahkan bila pengusaha diberikan akses vaksin corona berbayar. Namun, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan. 

Pertama, tujuan vaksinasi dilakukan bukan untuk melindungi diri sendiri, tapi seluruh masyarakat dari Covid-19. Budi tak ingin kelompok kaya mendapatkan akses lebih awal ketimbang golongan yang tak mampu.

"Jangan sampai kelihatan golongan tertentu dapat akses lebih dulu. Saya yakin, para CEO ingin dapat akses dan Anda mampu untuk itu," ujarnya di hadapan para pengusaha saat Webinar 11th Kompas100 CEO Forum, Kamis (21/1) lalu.

Selain itu Budi juga meminta swasta tetap mendahulukan kelompok prioritas yakni tenaga kesehatan, pelayan publik, dan lanjut usia untuk menerima vaksin. "Tolong dipahami agar dijaga tahapannya. Kalau mau loncat (dari tahapan vaksinasi), pikirkan dampaknya ke orang lain," kata mantan Direktur Utama Bank Mandiri tersebut.

Berikut adalah Databoks enam kelompok sasaran vaksin Covid-19: 

Sementara itu, Ketua Komisi IX DPR Felly Estelita Runtuwene pun tak menutup kemungkinan vaksinasi mandiri oleh korporasi. “Jika nanti hari hasil evaluasi (program vaksin gratis) prosesnya lambat, maka tidak menutup kemungkinan kami akan membahas scenario vaksin mandiri,” katanya.

Selain itu, ketua komisi yang membidangi kesehatan ini menekankan tahapan vaksin mandiri harus tetap diawasi. Selain itu, tahapannya harus pintu melalui pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan.

Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir juga menegaskan wacana vaksin mandiri memang memerlukan persetujuan DPR dan Kementerian Kesehatan. Sebab, vaksin mandiri juga memerlukan payung hukum tersendiri.

Yang pasti, vaksinasi mandiri bukan prioritas. “Kami tetap mengutamakan vaksin gratis jadi masih harus berjalan 1-2 bulan terdepan dan vaksin mandiri setelah itu,” ujarnya.

Berbagai Kendala Vaksinasi

Masalah distribusi menjadi salah satu kendala bagi pemerintah menjalankan program vaksinasi hingga ke pelosok Nusantara. Karena vaksin Covid-19 perlu disimpan pada suhu dingin, maka distribusinya memerlukan fasilitas khusus.

Vaksin dengan bahan baku virus yang dilemahkan seperti produksi Sinovac harus disimpan pada suhu 2-8 derajat Celsius. Sedangkan vaksin yang berbasis mRNA seperti buatan Pfizer harus disimpan pada suhu -70 derajat Celsius.

Pemerintah pun telah mendekati beberapa perusahaan seperti Unilever dan Kalbe Farma untuk membantu distribusi dengan jaringan fasilitas pendingin yang dimiliki. Namun, sejauh ini belum ada yang disepakati.

“Kami sudah bertemu dengan Bapak Menkes dan menyampaikan bahwa kami siap mendukung upaya-upaya untuk mengatasi pandemi, dalam hal ini khususnya terkait pelaksanaan program vaksinasi ke depannya," ujar Presiden Direktur Unilever Indonesia Ira Noviarti, dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/1).

Selain distribusi, kendala vaksinasi lainnya adalah kondisi masyarakat itu sendiri. Berikut adalah Databoks berisi sederet alasan masyarakat menolak vaksin: 

Masalahnya, mereka yang bersedia pun rupanya tak semua bisa disuntik vaksin. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan dari total 598.483 tenaga kesehatan yang masuk dalam kelompok pertama penerima vaksin, ada sekitar 20.154 nakes yang tidak bisa diberikan vaksinasi atau ditunda karena sejumlah alasan. Di antaranya, 4% menderita penyakit komorbid. 

Dalam diskusi "Vaksin dan Kita" yang diselenggarakan Komite Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jawa Barat, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa pada tahap awal, jumlah tenaga Kesehatan yang gagal disuntik vaksin karena darah tinggi mencapai 11%.

Akhirnya, proses vaksinasi tertunda karena mereka harus lebih dulu memulihkan kondisi, termasukk menjaga agar tekanan darahnya lebih stabil. "Sekitar 15 persen tenaga kesehatan itu batal atau tertunda disuntik vaksin. Ini bikin saya sedih," kata Budi.

Reporter: Rizky Alika