Rencana pemerintah untuk mempercepat proses vaksinasi Covid-19 nasional melalui program vaksinasi gotong royong atau vaksinsi mandiri menuai pro dan kontra. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan Sosial termasuk salah satu yang menolak vaksinasi mandiri karena beberapa alasan.
Salah satunya adalah terkait prinsip ekuitas yang masih belum tercapai. Sehingga, jika pemerintah ingin melibatkan pihak swasta untuk mempercepat vaksinasi, maka fokusnya adalah petugas kesehatan dan kaum rentan.
“Kami tidak anti pelibatan swasta untuk percepatan vaksinasi. Tetapi tetap mengikuti prioritas pada kelompok populasi rentan dan yang risiko paparannya tinggi,” kata Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan Sosial secara virtual, Minggu (21/2).
Sehingga jika pemerintah ingin melibatkan pihak swasta maka fokusnya adalah mempercepat vaksinasi di kelompok-kelompok prioritas ini, untuk menekan tingkat kesakitan dan kematian akibat Covid-19 pada kelompok ini.
Senior Advisor on Gender and Youth WHO Diah Saminarsih mengatakan bahwa WHO sebelumnya telah mendeklarasikan prinsip ekuitas atau kesempatan vaksinasi terhadap petugas kesehatan dan kaum rentan, menghindari penumpukan di kawasan tertentu agar semua negara mendapatkan vaksin.
"Potensi inequity sudah terbaca atau bisa dilihat, diobservasi terjadi sejak kita mulai berbicara soal vaksin," kata Diah pada kesempatan yang sama.
Menurutnya, sejak awal proses vaksinasi dimulai para ahli telah memprediksi adanya kesenjangan antarnegara yang mendorong WHO akhirnya membuat COVAX Facility untuk memastikan semua bantuan dapat diberikan kepada negara yang membutuhkan.
Prinsip ekuitas itu perlu diterapkan mengingat masih sedikitnya saat ini jumlah vaksin Covid-19 di seluruh dunia dan bahwa vaksin yang ada saat ini harus diberikan kepada kelompok populasi rentan.
Karena itu WHO mendorong negara-negara maju dapat berkontribusi lebih terhadap COVAX dan berbagi jika ada kelebihan dosis. WHO juga mendorong produsen vaksin berbagi pengetahuan agar dapat meningkatkan kemampuan manufaktur dan regulator mempercepat persetujuan darurat.
Mereka juga meminta otoritas kesehatan di setiap negara untuk bekerja sama dengan WHO untuk berinvestasi serta menyiapkan layanan kesehatan primer agar distribusi vaksin dapat lebih cepat terjadi dan membangun sistem data yang akurat untuk suplai vaksin.
Prinsip ekuitas itu juga menjadi alasan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LaporCovid-19, CISDI, YLBHI, ICW, LBHM, Asosiasi Jurnalis Independen (AJI), PSHK dan Transparency International, berharap pemerintah menunda rencana vaksinasi mandiri tersebut.
Oleh karena itu, CISDI melihat kebijakan vaksinasi mandiri terlalu prematur untuk dilakukan saat ini karena suplai yang masih terbatas secara global dan karena vaksinasi diharapkan dapat diberikan kepada yang masuk populasi rentan, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi.
"Pemerintah bisa fokus untuk mengoptimalkan 3T dan 3M dan juga mungkin untuk bisa mengutamakan solidaritas global dan multilateralisme karena tidak ada negara yang akan aman kalau semua negara belum aman," kata Olivia.
Selain masalah prinsip ekuitas, ada lima faktor lainnya mengapa Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan Sosial menolak rencana vaksinasi mandiri. Pertama, berpotensi tidak sasaran, sehingga melanggar prinsip keadilan sosial, kesetaraan, dan membuka ketimpangan akses serta distribusi tidak merata.
Kedua, tidak menjamin percepatan pencapaian kekebalan kelompok. Ketiga, membuka peluang korupsi dan penyalahgunaan lainnya. Keempat, membuka peluang beredarnya vaksin palsu. Dan terakhir, penghematan negara tidak bisa menjadi dasar pembenaran vaksinasi mandiri.