BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek diduga melakukan tindak pidana korupsi pada pengelolaan dana investasinya. Sejak kasus ini ditingkatkan menjadi penyidikan pada awal 2021, belum ada tersangka yang dijerat oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Pengamat Hukum Pasar Modal yang juga Sekretaris Jenderal Badan Arbitrase Pasar Modal (Bapmi) Indra Safitri berpendapat, Kejagung perlu menunjukkan bukti pengelola investasi itu tindakan melawan hukum. Dengan begitu, kasusnya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana umum.
"Apakah ada bukti yang menunjukkan adanya suap dalam keputusan investasi yang melibatkan pejabat negara atau badan usaha milik negara (BUMN)?” kata Indra saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (23/4).
Namun, menurut dia, kerugian akibat pengelolaan investasi seharusnya menjadi ranah Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Pelanggaran yang menjadi kewenangan Otoritas, seperti tercantum dalam aturan itu, adalah manipulasi pasar, investasi pada saham gorengan, rekayasa laporan keuangan, penipuan keterbukaan informasi, atau pelanggaran lainnya. OJK juga berwenang mengurusi perlindungan terhadap investor.
Karena itu, Indra mengatakan, perlu adanya pemilahan. "Harus dipilah, apa yang ditemukan Kejaksaan sehingga keadilan bisa tercapai," ujar dia.
BPJS Ketenagakerjaan Dinilai Tak Lakukan Pelanggaran Pidana
Pengamat pasar modal Teguh Hidayat memperkirakan tidak ada pelanggaran pidana pada kerugian yang dialami BPJS Ketenagakerjaan. Penurunan nilai investasi atau unrealized loss awam terjadi karena fluktuasi pasar.
"Harusnya tidak ada tersangka karena kasus BPJS-TK berbeda dengan Jiwasraya yang jelas sekali ada kerja sama orang dalam dengan orang luar," kata dia.
BPJS Ketenagakerjaan dinilai membeli saham yang berkualitas. Kerugian yang terjadi lantaran kondisi pasar sedang lesu dalam tiga tahun terakhir.
Pada Januari 2018, indeks harga saham gabungan (IHSG) berada pada posisi tertinggi sepanjang sejarah, yaitu 6.600. Selanjutnya, indeks bergerak menuju titik terendah hingga awal pandemi Covid-19 pada Maret 2020.
Saat awal pandemi, IHSG terjun pada ke level 4.400. Kemudian, pergerakannya berangsur pulih hingga mencapai kisaran 5.900 sampai 6.000 pada saat ini.
Dengan kondisi tersebut, seluruh asuransi juga megalami kerugian. Begitu pula dengan asuransi swasta, terutama untuk investasi unit link. "Ini karena mereka investasi di reksadana. Reksadana turun semua karena IHSG sejak 2018 turun. Begitu pula dengan BPJS Ketenagakerjaan," ujar dia.
Ada potensi portofolio BPJS Ketenagakerjaan memperoleh keuntungan kembali ketika kondisi pasar modal pulih. Namun, menurut Teguh, pergerakan saham memang tidak bisa ditebak.
Berdasarkan laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan teranyar, yaitu 2019, investasi sahamnya mencapai Rp 2,94 triliun dengan nilai wajar saat itu Rp 2,27 triliun. Total kerugian investasi ini mencapai Rp 667,52 miliar.
Saham dengan nilai kerugian paling besar adalah PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) senilai Rp 278,08 miliar. Saham yang mendatangkan keuntungan paling besar tercatat PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan nilai keuntungan Rp 21,57 miliar.
Kasus BPJS Ketenagakerjaan
Sebagai informasi, Kejagung telah meningkatkan dugaan kasus korupsi BPJS Ketenagakerjaan menjadi penyidikan pada awal 2021. Kasusnya ditangani para penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) berdasarkan surat perintah penyidikan Nomor: Print-02/F.2/Fd.2/01/2021.
Kasus teresebut dinilai mirip dengan kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Kejagung memprediksi kerugian BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 20 triliun dalam tiga tahun terakhir. Namun, belum ada tersangka yang ditetapkan oleh penyidik.
Kejaksaan telah menggeledah kantor BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, sejumlah pejabat dan karyawan BPJS Ketenagakerjaan diperiksa Kejagung.
Jaksa penyidik Jampidsus Kejagung pun telah memeriksa Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto sebagai saksi. Kemudian, pemeriksaan juga dilakukan pada Presiden Direktur PT FWD Asset Management, Direktur Bahana TCW Investment Management, dan Direktur Pengembangan Investasi BPJS Ketenagakerjaan.
Kemudian, Asisten Deputi Settlement Custody pada Deputi Direktur Bidang Keuangan, Direktur COO PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk, Direktur PT Danareksa Investment Management dan Kepala Urusan Pasar Saham pada BPJS Ketenagakerjaan tahun 2016. Pemeriksaan juga dilakukan pada petinggi OJK selaku Direktur Pengelola Investasi Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A OJK.