Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak, berjanji akan membahas berbagai opsi rencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang saat ini sebesar 10 persen, dengan penuh kehati-hatian dan selalu memperhatikan situasi dan kondisi ekonomi masyarakat.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat pada Dirjen Pajak, Neilmaldrin Noor menyatakan saat ini berbagai opsi tengah digodog secara internal oleh Badan Kebijakan Fiskal.
“Dirjen Pajak terus berupaya agar apapun nantinya kebijakan yang akan diambil tidak berdampak negatif pada ekonomi dan masyarakat,” ujar Neilmaldrin kepada Katadata di Jakarta.
Kenaikan tarif PPN merupakan bagian dari konsolidasi fiskal yang dilakukan pemerintah guna mengantisipasi dampak pelambatan ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19, yang juga dirasakan secara global.
Neilmaldrin melanjutkan, nantinya begitu pemerintah sudah keluar dengan keputusan resmi mengenai opsi yang diambil, maka seterusnya hal ini akan dibahas bersama dengan Komisi XI DPR.
Dengan demikian diharapkan bahwa nantinya begitu telah menjadi kebijakan resmi, maka keputusan pemerintah tersebut dapat diterima oleh berbagai pihak dan dalam penerapannya mampu berkontribusi positif pada upaya-upaya pemulihan ekonomi negara ke depannya.
“Pemerintah hendak menciptakan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan,” ujarnya.
Saat ini, menurut keterangan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Airlangga Hartarto, Presiden Joko Widodo telah berkirim surat kepada DPR guna pembahasan rencana ini lebih lanjut.
Selain menyasar kenaikan tarif PPN, Neilmaldrin mengatakan, Ditjen Pajak saat ini juga hendak membenahi kinerja PPN Indonesia (C-Efficiency) yang masih bertengger pada angka 63,58 persen, jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura sebesar 92,69 persen dan Thailand 113, 83 persen, dengan memperluas dan mengintensifkan pengawasan dan pengelolaan wajib pajak.
“Kami melakukan reorganisasi internal supaya dapat melakukan pengawasan dan pengelolaan wajib pajak lebih efektif dan efisien.”
Menanggapi rencana kenaikan tarif PPN ini, Managing Partner Denny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menilai rencana tersebut wajar ditempuh sebagai bagian untuk menjamin penerimaan negara.
Ia selanjutnya mengatakan PPN sebagai pajak berbasis konsumsi sudah terbukti sebagai salah satu jenis pungutan yang tahan goncangan pada saat krisis sekalipun, sebagaimana pernah terjadi saat krisis 2008, atau yang biasa disebut sebagai krisis hipotek subprime.
‘Meningkatkan penerimaan dari pos PPN disaat pemulihan pascapandemi merupakan kebijakan yang tepat,” ujarnya, sebagaimana dikutip oleh www.bisnis.com.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, sebelumnya, menyatakan bahwa ada dua skema yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah terkait rencana kenaikan PPN.
Pertimbangan pertama adalah tetap meneruskan kebijakan single tarif sebagaimana saat ini atau mengembangkan skema multitarif. Skema yang kedua memungkinkan adanya perbedaan jumlah pajak yang dipungut, berdasarkan jenis barang dan kebutuhannya.
Jika nantinya pemerintah memutuskan untuk meneruskan kebijakan yang sekarang berlaku, maka pemerintah akan membuat Peraturan Pemerintah (PP) baru yang sudah disesuaikan dengan kebijakan baru soal PPN. Namun, jika pemerintah akhirnya memutuskan untuk memakai skema multitarif, maka jalannya akan jadi lebih panjang karena pemerintah harus merevisi lebih dahulu UU No. 46/2009 tentang PPN dan PPnBM
Ekonom CORE Piter Abdullah mengatakan bahwa jika pada akhirnya pemerintah tetap memutuskan untuk menaikan tarif PPN, maka opsi multitarif menjadi pilihan terbaik karena dirasakan lebih berkeadilan dengan situasi masyarakat pada umumnya.
Melalui skema multitarif, Pemerintah dapat menaikkan pajak bagi barang mewah, yang merupakan kebutuhan sekunder, dan sebaliknya menurunkan pajak bagi barang kebutuhan primer masyarakat.
“Jika pemerintah dapat merencanakan secara cermat kenaikan PPN ini, maka isu inflasi tidak akan banyak berpengaruh,” ujarnya, seperti dilansir oleh CNBC Indonesia.
Saat ini, menurut www.pajak.go.id, ada 14 negara, yang kebanyakan merupakan negara-negara di benua Eropa, yang sudah menerapkan kebijakan multitarif. Sementara Indonesia berada satu kelompok dengan negara-negara seperti Australia, Afghanistan, Mesir dan Vietnam yang menerapkan single tarif PPN di angka 10 persen.
Ekonom senior Center of Reform on Economics Yusuf Rendi Menilet, lebih jauh, bahkan mengusulkan supaya pemerintah mempertimbangkan untuk menarik pajak kaum super kaya.
“Akan tetapi, butuh dukungan politik yang kuat jika hal ini hendak diterapkan di Indonesia,” ujarnya.
Di Indonesia, survei yang dilakukan oleh Glocalities dan Millionaires for Humanity kepada 1.051 responden pada 1 hingga 15 Maret lalu menyatakan bahwa 79 persen responden mendukung pemberlakuan wealth tax di Indonesia.
Ide penarikan pajak kaum super kaya ini telah juga telah mendapatkan dukungan dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Bahkan, Organisasi Millionaires for Humanity telah menyebutkan bahwa beberapa anggotanya siap mendukung ide itu.
Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) bidang perdagangan, Benny Soetrisno, meminta pemerintah berpikir ulang tentang niatannya tersebut.
Ia menilai, kenaikan harga sebagai akibat dari kenaikan tarif PPN akan menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat dan juga berpengaruh buruk bagi para pengusaha dari sisi produksi. Hal ini, menurutnya, akan memperlambat pemulihan ekonomi kedepannya.
“Kenaikan tarif PPN akan mengakibatkan efek price inflation (kenaikan harga),” ujar Benny.