Sejumlah ahli menyebutkan tes cepat Covid-19 GeNose memiliki tingkat akurasi yang rendah sehingga penggunaannya perlu disetop. Namun, Satgas Covid-19 menyatakan masih perlu menunggu uji fungsi berbasis akademik terkait GeNose.
"GeNose adalah kecerdasan buatan. Tentunya untuk melihat sensitivitas dan spesifisitas, harus ada uji fungsi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik," kata Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 Alexander K. Ginting saat dihubungi Katadata.co.id pada Rabu (23/6).
Namun, Alex enggan menjawab saat ditanya kemungkinan penundaan penggunaan GeNose hingga terdapat hasil uji fungsi secara akademik. "Semua harus melalui penelitian apakah baik atau tidak baik," katanya.
Pakar biologi molekuler Ahmad Utomo meminta pemerintah mengembalikan verifikasi perjalanan sesuai dengan standar tes baku, bukan menggunakan GeNose. "Kecuali sudah ada bukti validasi GeNose dari minimal tiga kampus merdeka," kata Ahmad seperti dikutip dari akun Twitter pribadinya yang sudah dikonfirmasi oleh Katadata.
Ia tidak mempermasalahkan apabila publikasi GeNose masih memerlukan waktu. Namun, penggunaan alat tersebut sebagai alat verifikasi perjalanan mestinya perlu menunggu hasil validasi.
"Kalau hasilnya solid, harusnya bisa divalidasi dengan mudah oleh kampus lain. Kayak kit RT PCR Bio Farma dulu juga divalidasi banyak lab," ujar dia.
Sementara itu, tim peneliti dan pengembangan GeNose C19 dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengakui bahwa alat skrining dan diagnostik Covid-19 berbasis embusan napas GeNose C19 dapat memunculkan hasil positif maupun negatif palsu jika prosedur standar operasi (SOP) penggunaannya belum terpenuhi.
"Jika GeNose C19 dioperasikan ketika kondisi lingkungannya belum ideal dan syarat belum terpenuhi, hasil tes bisa menunjukkan low signal atau memunculkan hasil positif maupun negatif palsu," kata Juru Bicara GeNose C19 Mohamad Saifudin Hakim, Rabu, seperti dikutip dari Antara.
Ia mengatakan, Genose C19 yang telah mengantongi izin edar pada akhir Desember 2020 tergolong alat elektromedis noninvasif dengan basis kecerdasan buatan (artificial intelegent /AI). GeNose C19 mengandalkan banyak data dan kepatuhan pada SOP untuk menghasilkan performa yang baik.
Menurut dia, GeNose C19 terbukti dapat membantu masyarakat yang harus melakukan mobilitas sehingga tetap dapat memenuhi protokol kesehatan, khususnya saat berada di ruang publik. Meski demikian, ia meminta semua pihak, termasuk peneliti dan pengembang, distributor, operator, maupun masyarakat pengguna sama-sama memastikan agar tata cara penggunaan alat Genose C19 sesuai dengan SOP.
SOP Genose C19 telah disampaikan melalui distributor dan operator secara berkala. Salah satu SOP itu ialah alat GeNose C19 harus diletakkan di ruangan yang memiliki saturasi udara satu arah.
GeNose C19 juga sudah memiliki fitur analisis lingkungan yang otomatis mengevaluasi saturasi partikel di sekelilingnya. Operator hanya perlu melakukan mode flushing untuk memeriksa udara atau lingkungan di sekitar alat selama 30 hingga 60 menit sebelum menjalankan alat.
Software GeNose C19 akan memberi tanda pada layar monitor laptop bahwa lingkungan sudah memenuhi syarat atau belum. "Tanda warna hijau dan tulisan "GO" artinya sudah oke, sedangkan warna kuning atau merah dengan tanda seru berarti belum oke untuk mengoperasikan GeNose C19," ujar dia.
Jika memaksa GeNose C19 beroperasi ketika kondisi lingkungannya belum memenuhi syarat, hasil tes berpotensi tidak tepat. Ia mengataka, tim peneliti kini telah menyiapkan mekanisme pemantauan penggunaan alat pemutakhiran perangkat kecerdasan buatan. "Secara berkala dan berkelanjutan serta terus disampaikan melalui produsen maupun distributor," kata Hakim.
Alat tersebut tengah menjalani proses validitas eksternal yang melibatkan pakar di tiga universitas. Pakar itu berasal dari Universitas Andalas, Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Airlangga (Unair) sebagai penguji independen alat GeNose C19.
Uji validitas eksternal merupakan bagian dari post-marketing analysis, yakni ketika GeNose C19 sudah digunakan oleh masyarakat umum yang bertujuan untuk menambah data dan memperkuat kerja AI. Sementara uji validitas eksternal merupakan bagian dari kelanjutan pengembangan serta kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.
Adapun ethical clearance sudah keluar untuk UI dan UNAIR. Ia menyebutkan, persetujuan etik bertujuan untuk memastikan penelitian GeNose C19 bekerja sesuai kaidah ilmiah. Di sisi lain, seluruh penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek penelitian harus mendapatkan ethical clearance atau keterangan lolos kaji etik.
Uji validitas eksternal telah dimulai sejak April 2021 di Universitas Andalas. Selanjutnya, Rumah Sakit UI memulai tahap uji tersebut pada Juni. Kemudian, Unair dan RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) akan mulai uji validitas eksternal GeNose C19 pada akhir Juni 2021.
Periode uji validitas berlansung empat sampai enam bulan, tergantung perjanjian dengan masing-masing institusi tersebut. "Hasil uji validitas belum keluar, karena prosesnya masih berjalan," kata Hakim.
Namun, tim pengembang akan terus menyempurnakan SOP penggunaan GeNose C19 agar lebih mudah dipahami. "Dan lebih antisipatif terhadap kesalahan operasional, yang tanpa disengaja dapat mempengaruhi performa alat," ujar Hakim.
Kasus positif Covid-19 di Tanah Air terus melonjak. Pasien positif Covid-19 bertambah 15.308 orang per 23 Juni 2021. Total Kasus mencapai 2.033.421 dengan 1.817.303 pasien dinyatakan sembuh dan 55.594 orang meninggal dunia.