Peringatan Epidemiolog kalau Kematian Tak Masuk Indikator Covid-19

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Sejumlah warga menyaksikan proses pemakaman korban Covid-19 dari kejauhan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Rorotan, Jakarta Utara, Jumat, (16/7/2021). Pemerintah mengumumkan kasus Covid-19 di Indonesia bertambah 54.000 pada Jumat (16/7).
Penulis: Rizky Alika
Editor: Maesaroh
13/8/2021, 06.39 WIB

Pemerintah menghapuskan data kematian akibat Covid-19 dalam penilaian level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Epidemiolog pun menilai, langkah tersebut bisa berakibat fatal.

"Kalau hilang jadi misleading, misintepretasi, dan misekspektasi dan ini bahaya," kata Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman kepada Katadata, Kamis (12/8).

Menurutnya, pengendalian pandemi memerlukan indikator awal dan indikator akhir. Dengan demikian, situasi perburukan bisa dicegah sejak awal. Indikator kematian tersebut juga berguna untuk melihat keberhasilan sebuah negara dalam mencegah perburukan situasi. Selain itu, kasus kematian menjadi indikator valid dalam melihat derajat keparahan sebuah wabah.

Tidak hanya pada Covid-19, angka kematian juga penting pada penyakit lain seperti stroke, jantung, dan sebagainya. "Ada kematian memperlihatkan apakah kita berhasil atau tidak, kualitas program kita seperti apa," ujar dia.

Selain Indonesia, hanya ada dua negara yang menghapus indikator kematian yaitu Tanzania dan Korea Utara. Kondisi ini memberikan dampak berbahaya pada suatu negara lantaran tidak ada penilaian performa sistem pengendalian pandemi.  "Namun Tanzania belakangan memperbaiki sistem," ujar dia.

Epidemiolog Universitas Airlangga Laura Navika Yamani mengatakan, perbaikan data kematian semestinya tidak diikuti dengan penghapusan data dari indikator level PPKM. Ia tidak mempermasalahkan nila penetapan level PPKM tidak sesuai dengan kondisi lapangan lantaran ada penumpukan data.

"Jadi kalau data tidak akurat, tidak real time, otomatis kebijakan yang dikeluarkan tidak pengaruh," katanya.

Menurutnya, penghapusan data tidak akan mengubah kondisi kematian di masyarakat. Selain itu, masyarakat berpotensi lengah terhadap penyebaran kasus corona yang terjadi di masyarakat.

"Dengan adanya data, masyarakat bisa aware terhadap penyebaran kasus Covid-19," ujar Laura.

Dalam kurun waktu tiga pekan terakhir, Kementerian Kesehatan merilis angka Kematian akibat Covid-19 yang cenderung tinggi. Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi penyumbang angka kematian paling besar.

Ternyata data tersebut kurang akurat, karena tidak menunjukkan angka yang benar pada tanggal rilisnya. Tenaga Ahli Kementerian Kesehatan Panji Fortuna Hadisoemarto mengatakan analisis data National All Record (NAR) Kementerian Kesehatan menemukan pelaporan kasus kematian yang dilakukan daerah tidak bersifat realtime dan merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya.

NAR adalah sistem big data untuk pencatatan laboratorium dalam penanganan Covid-19 yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan.

Dia mencontohkan laporan kasus Covid-19 pada 10 Agustus 2021. Dari 2.048 kematian yang dilaporkan, sebagian besar bukanlah angka kematian pada tanggal tersebut, tapi pada sepekan sebelumnya. Bahkan 10,7% di antaranya berasal dari kasus pasien positif yang sudah tercatat di NAR lebih dari 21 hari, namun baru terkonfirmasi dan dilaporkan bahwa pasien telah meninggal.

Contoh lainnya adalah Kota Bekasi. Laporan per 10 Agustus, dari 397 angka kematian, 94% di antaranya bukan merupakan angka kematian pada hari tersebut. Melainkan rapelan angka kematian dari bulan Juli sebanyak 57% dan bulan Juni dan sebelumnya sebanyak 37%.

"6% sisanya merupakan rekapitulasi kematian di minggu pertama bulan Agustus,” kata Panji.

Reporter: Rizky Alika

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan