Indonesia Setop Kerja Sama Emisi Gas Rumah Kaca REDD+ dengan Norwegia

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3/2021). Kementerian ESDM hingga Maret 2021 telah membangun sebanyak 193 unit PLTS atap gedung, sementara sepanjang 2021-2030 pemerintah juga menargetkan pembangunan PLTS dengan kapasitas sebesar 5,432 Mega Watt untuk menurunkan emisi hingga 7,96 juta ton karbondioksida.
Penulis: Maesaroh
10/9/2021, 21.58 WIB

Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengakhiri Kerja Sama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/REDD+) dengan  Norwegia. Pemutusan kerja sama dilakukan karena tidak adanya kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia.

" (Pemutusan kerjasama) terhitung mulai tanggal 10 September 2021 dengan mempertimbangkan tidak adanya kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia untuk merealisasikan pembayaran  Result Based Payment (RBP)," demikian tulis Kementerian Luar Negeri, melalui siaran persnya, Jumat (10/9).

Pemutusan kerja sama REDD+ tersebut disampaikan melalui Nota Diplomatik, sesuai ketentuan Pasal XIII LoI REDD+, kepada Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta. ​"Keputusan  pemerintah Indonesia diambil melalui proses konsultasi intensif," ujar Kementerian Luar Negeri.

Seperti diketahui, REDD+ merupakan program insentif keuangan untuk negara-negara yang bersedia menjaga hutannya sebagai "paru-paru dunia". Program ini mentargetkan negara-negara berkembang yang memiliki hutan luas tetapi tengah menghadapi masalah deforestasi seperti Indonesia dan Brasil.

REDD+ tidak hanya mencakup upaya pengurangan emisi karbon tetapi juga mencantumkan peran  dan upaya negara untuk melakukan konservasi, manajemen hutan yang berkepanjangan, serta peningkatan lahan hijau.

pada 2020, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% hingga 2020. Pemerintah Norwegia kemudian sepakat untuk memberikan kontribusi berupa dana Result Based Payment (RBP)  kepada Indonesia dalam kontribusinya mengurangi emisi karbon. Skema Result-Based Payment  yang disepakati adalah US$ 5 per ton CO2 .

 Berdasarkan penilaian, Indonesia berhasil menurunkan emisi sebesar 11,2 juta ton CO2eq pada tahun 2016/2017.  Pada Juli 2020, Norwegia sebenarnya sudah mengumumkan akan memberikan dana sebesar US$56 juta atau Rp 800 miliar atas atas realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton CO2eq  pada tahun 2016/2017. Namun, hingga akhir 2020, dana itu belum juga turun.

"Pemutusan kerjasama REDD+, tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap komitmen Indonesia bagi pemenuhan  target pengurangan emisi,"tutur Kementerian Luar Negeri.

Menurut Kemenlu,  Indonesia telah mencatatkan  kemajuan yg signifikan dalam memenuhi kewajiban Perjanjian Paris (Paris Agreement) yg telah diratifikasi pemerintah Indonesia, termasuk merealisasikan sasaran pembangunan berkelanjutan (SDGs). 

Capaian Indonesia antara lain dapat dilihat dari laju deforestrasi terendah selama 20 tahun yang dicapai dalam tahun 2020, serta  penurunan signifikan luasan kebakaran hutan di Indonesia.

 Pada Agustus tahun lalu, Indonesia mengantongi dana US$ 103,8 juta dari Green Climate Fund (GCF) melalui skema REDD+ karena mampu mengurangi emisi karbon hingga 20,3 juta ton pada periode 2014-2016.

Dana yang diterima Indonesia juga menjadi yang paling besar dibandingkan negara-negara lain dalam skema yang sama. Brasil menerima US$ 96,5 juta pada awal 2019, sementara Chili US$ 63,6 juta dan Paraguay US$ 50 juta pada akhir tahun lalu.